O

398 61 5
                                    

Suasana canggung kini menyelimuti sebuah ruangan VVIP yang telah dipesan oleh seseorang. Memang hanya dihuni oleh 2 orang lelaki yang memilki paras serupa namun berbeda. Berbeda disini adalah garis wajah salah satunya yang tampak lebih tegas.

Sudah hampir 30 menit kedua orang itu hanya sibuk dengan ponsel dan juga pikiran masing - masing. Bahkan saat menyantap makanan pun mereka hanya diam menikmati makanan yang tersedia.

"Apa tujuan lo ngajakin gue disini?" Tanya lelaki dengan rambut hitam.

Tak tahan lama - lama dalam hening yang tak kunjung usai. Urusannya masih banyak bahkan untuk sekedar memainkan ponselnya dan makan.

"Gimana kabar lo? Udah lama kita nggak ketemu," jawab cowok diseberangnya.

"Kenapa? Lo kenapa nanyain kabar tiba - tiba? Gue pikir lo lupa sama gue. Bahkan gue pun nggak pernah inget punya saudara kaya lo,"

"Emang gue salah nanya gitu sama kembaran gue? Mana mungkin gue ngelupain lo."

"Ck, omongan artis ternyata gini ya? Palsu," cowok diseberangnya mengernyit heran.

"Lo kemana aja? Baru inget pulang? Baru inget gue? Baru inget kalo punya keluarga? Mo mati lo?" Ucapan Eden kini terdengar seperti emosi. Bahkan wajahnya memerah menahan amarah.

Perang dingin antara saudara ini memang tidak pernah selesai walaupun sudah bertahun lamanya. Mereka masih diliputi ego masing - masing. Bahkan di beberapa kesempatan mereka bertemu tidak pernah berbicara sepatah kata pun. Lebih tepatnya Jeidan. Jeidan selalu memilih diam tidak menanggapi adik kembarnya yang terkadang berkata menyakitkan.

"Lo kenapa sensian mulu kalo sama gue?"Jeidan masih berusaha menetralkan emosinya yang mulai tersulut.

Sebenarnya, ini yang Jeidan takutkan. Mereka berdua sama sama mudah tersulut emosi. Mereka tidak akan segan untuk saling meninju. Tapi akhir akhir ini Jeidan merasa bahwa ada beberapa hal yang harus diluruskan. Jeidan tidak mau selamanya perang dingin dengan adik kembarnya.

"Lo masih nanya sedangkan gue yakin lo udah tau alesannya,"

"Lo kenapa selalu begini? Kekanakan banget tau nggak? Kenapa lo nggak pernah anggep gue ada?"

"Waw, coba liat siapa disini yang kekanakan. Gimana gue mau anggep lo disaat hari dimana kita harusnya main bareng malah lo sibuk wara wiri di tv. Pergi jauh kesana kemari tanpa pernah peduli sama gue. Sekarang siapa disini yang jahat?"

"Lo tau? Gue selalu membayangkan kehidupan indah punya kembaran. Tapi harapan gue hilang karena lo terlalu sibuk dengan kamera," tangan Eden semakin mengepal erat di bawah meja.

"Sejak itu, gue bahkan udah anggep lo orang asing. Tau apa yang gue rasain selain itu? Semua orang sibuk ngurusin lo. Bahkan semua perhatian Mama sama Papa bahkan semua keluarga cuma peduli sama lo. Mereka ngirim gue ke LA buat tinggal sama nenek karena mereka mau fokus ngurusin lo. Dan lo masih ngerasa kurang?"

"Lo marah ketika Mama Papa sibuk dengan urusan mereka? Lo marah saat mereka nggak ada disaat lo libur dari kerjaan lo. Lo merasa kurang kasih sayang? Kurang mana lo sama gue?"

"Lo nggak pernah tau rasanya kerja di dunia hiburan. Gue cuma pengen dihibur dengan keluarga gue supaya gue bisa lebih semangat. Tapi apa yang gue dapet setelah gue libur. Mereka malah sibuk kerja. Gue pengen cerita masalah gue sama mereka. Tapi apa yang gue dapet?"jelas Jeidan tak mau kalah.

Meskipun penjelasan Eden sudah cukup menamparnya. Tapi Jeidan tak mau mengalah. Ia masih merasa dialah yang paling tersiksa saat ini. Seperti inikah sifat Jeidan?

"Lo yang memilih buat terjun ke dunia itu. Lo harus siap segala konsekuensinya. Lo bilang apa tadi? Sibuk? Mama Papa sibuk? Lo pikir! Mereka bahkan menyempatkan waktu buat lo tapi lo selalu alesan buat nggak ketemu sama mereka. Mereka sangat menghargai lo dan pekerjaan lo. Mereka berusaha memahami mungkin lo lagi banyak jadwal,"

"Gue nggak habis pikir sama jalan pikiran lo. Lo sangat disayang sama mereka tapi sikap lo sama mereka lebih buruk. Lo lupa? Siapa yang mendampingi lo saat lo masih merintis karir? Sampe gue aja dilupain. Sampai sekarang lo udah sukses. Lo seenaknya nggak peduli sama mereka dan sekarang berlagak jadi orang yang tersakiti? Cuih ternyata gini sifat leader yang diagungkan fansnya?"

Kalimat terakhir Eden berhasil menyulut amarah Jeidan dan berakhir meninju wajah Eden hingga sudut bibirnya sobek. Nafas Jeidan nampak tersengal yang menandakan amarah yang semakin meluap.

"Ooh jadi ini alesan lo ngajak gue kemari? Cuma mau nonjok gue doang? Sekarang bilang, bagian mana dari perkataan gue yang salah?"

Eden mengusap sudut bibirnya yang berdarah kan menatap remeh wajah Jeidan yang merah.

"Gue ngajakin lo kesini mau buat hubungan kita jadi lebih baik. Buat memperjelas semuanya. Selama ini gue tahan saat lo selalu bilang hal buruk sama gue. Gue sendiri capek perang dingin gini. Kenapa lo nggak pernah berubah?"

"Maksud lo mau memperbaiki hubungan yang kayak gimana? Semua masalah tuh ada di diri lo. Lo sendiri yang nggak pernah merasa puas. Lo egois. Lo terlalu sibuk mikirin diri lo sendiri sampe lupa ada orang yang tersakiti,"

"Bukannya apa yang tadi gue bilang udah memperjelas semuanya? Apa lagi? Lo pikir gue nggak capek? Lo pikir, lo doang yang menderita? Gue yang selalu ada menghibur Mama setelah lo sakiti,"

"Gue nggak pernah menyangka bakalan kaya gini."Eden melayangkan satu tinjuan telak pada wajah Jeidan.

Tak hanya bibirnya yang sobek namun hidungnya pun kini mengeluarkan darah. Ini menunjukkan seberapa besar amarah Eden yang Ia lampiaskan pada wajah Jeidan.

"Intropeksi diri sebelum lo mau memperbaiki semuanya,"Eden keluar dari ruangan itu dengan mata merah menahan tangis. Tak menyangka ia akan menangis karena hal ini. Selama ini ia saling meninju dengan Jeidan tak pernah sesakit ini. Tak hanya wajahnya namun batin dan hatinya sakit.

Keadaan Jeidan tak jauh beda dengan Eden. Bahkan keadaannya lebih kacau. Hidung yang terus mengeluarkan darah serta bibir yang sobek dan juga mengeluarkan darah cukup banyak. Air mata yang tak pernah menetes pun kini dengan lancangnya menetes membuat keadaannya semakin kacau.

Jeidan memang bukan tipe yang akan dengan mudah mengeluarkan air mata. Air matanya akan keluar ketika ia benar - benar merasa marah dan kecewa. Kali ini bukan marah pada Eden. Tapi ia marah pada dirinya sendiri. Semua yang dikatakan Eden memang benar. Ia egois. Kekanakan.

Tanpa sadar Jeidan ternyata sudah menyakiti lebih banyak orang. Bukan ia yang disakiti namun dia yang menyakiti. Bahkan Jeidan terus mengutuk dirinya kala mengingat sikap bodohnya dengan orang tuanya 2 tahun yang lalu.

Sekarang Jeidan tak punya siapapun untuk berkeluh kesah. Pikirannya lebih kacau. Niatnya untuk memperbaiki masalah malah kini terasa semakin sulit untuk diperbaiki. Terlambatkah semuanya?

🐶











Hai!!!! Kali ini sepesial dari Jeidan sama Eden dulu ya.  Hmm ternyata masalahnya rumit ya. Aku sendiri juga pusing bikinnya.

Tapi nggak papa...




See you soon👋👋👋

Privacy | LEE JENO |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang