Pintu terbuka sebagian, tampak gulungan selimut membalut tubuh seorang gadis yang sedang berbaring di dalamnya. Single bed dengan sprei bermotif kotak-kotak berwarna pastel tersebut tampak kusut tak beraturan dengan bantal dan guling yang telah jatuh ke bawah.
Lantai kayu mengkilap itu berwarna sama dengan dinding di sekelilingnya, yang hampir seluruhnya tertutupi dengan poster dan foto pria tampan yang rata-rata bermata sipit. Mulai dari yang berbentuk foto, poster, dan sketsa yang jumlahnya paling dominan. Maniak Kpop itu sungguh memenuhi kamarnya dengan segala perintilan dari grup yang dipujanya.
Gorden yang masih belum terbuka membuat cahaya matahari terhalang hingga hanya menyisakan cahaya remang di kamar itu. Lampu telah dimatikan sejak nenek membangunkannya tadi pagi. Sunyi kamar itu membuat suara detak jam terdengar sedikit kentara, jarum pendeknya telah mengarah ke angka 11. Namun, gadis di dalam gulungan selimut itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Dia seolah tak masalah dengan ruangan pengap dengan jendela yang tak terbuka itu.
Denting ponsel yang berada di atas nakas membuat pergerakan kecil tampak. Tangannya terulur keluar dari selimut menggapai ponselnya. Gadis itu terdiam tanpa pergerakan dan suara, sepuluh menit telah berlalu. Selimut tersibak olehnya tiba-tiba." Huwaaa, mereka, kok jahat banget, sih!" teriaknya menggema.
Matanya masih terpaku pada layar ponsel yang menampilkan isi chat grup kelas dengan banyak stiker wajah jeleknya saat lomba modeling kemarin. Yang membuat matanya sampai berkaca-kaca dengan bibir yang tertarik ke bawah bukan hanya itu saja, kalimat yang ditulis tak pernah gagal menghancurkan hatinya yang baru saja ditata kembali. Hinaan yang mereka anggap candaan itu tak pernah Zini anggap candaan pula. Itu terlalu jahat untuk disebut becanda.
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata, sekali kedipan saja alirannya akan membasahi pipi. Zini segera menyeka kasar air matanya, tangannya masih men-skrol ke bawah layar ponsel. Topik tentang dirinya seketika membuat grup ramai dengan chating-an tak bermutu. Satu foto yang terpampang di sana kembali merobek hati Zini, wajahnya diedit di foto monyet dengan tulisan 'monyet tahun 2022' tertera di sana.
"Gue gak nangis, kok!" Zini menghapus jejak air mata sembari menepuk dada yang sesak sebab menahan tangisan. Namun, semakin ia coba untuk tersenyum dan baik-baik saja semakin menyakitkan rasanya. Gadis itu menoleh ke sampingnya, di mana delapan poster dengan wajah berbeda terpampang di sana.
"Oppa, mereka makin jahat sama gue! Boleh gak gue jahat sama mereka?" adunya memandangi poster tersebut satu per satu. Zini lalu menunduk lesu, "Tuh, kan, Oppa gak ngebolehin!" Sebut saja Zini gila, bicara pada poster dan berlagak seolah mereka menjawabnya. Ya, dia memang sudah gila karena bully yang diterima selama ini. Mengadu pada poster sang idola adalah caranya melepas kegundahan hati.
Masih dengan kepala menunduk Zini mengetik chat di grup kelasnya.
Kalian sadar gak, sih, udah nyakitin perasaan orang?
Pesan itu segera ia kirim dengan harapan ada yang setidaknya paham perasaannya.
Tak lama kemudian muncul jawaban dari beberapa penghuni grup yang mengatakan dirinya terlalu lebay menyikapi candaan mereka, beberapa di antaranya bahkan bilang mereka tak salah karena membicarakan fakta. Kemarahan dan kekecewaan membuat Zini akhirnya memutuskan untuk mengenyahkan sementara ponsel dari hadapannya. Ia kembali menatap salah satu poster dengan wajah manis yang sedang tersenyum itu. "Bener yang Oppa bilang! Bahkan, jika aku mengulurkan tangan, gak ada yang menggenggamnya.
Zini sekarang tak tahu mau berbuat apa. Hari ini dia tidak masuk sekolah untuk menghindari ejekan dan hinaan mampir di kupingnya, tetapi sama saja, mereka punya banyak cara untuk melakukan itu.Entah mengapa tiba-tiba Zini terpikir tentang Lula, adakah dia akan minta maaf karena sempat menertawakan Zini kemarin? Tangannya terulur untuk mengambil kembali ponselnya. Layar menampilkan chat teratas yang menunjukkan sama sekali tak ada pesan yang dikirimkan Lula. Apa teman satu-satunya itu tak merasa bersalah sama sekali, atau setidaknya peduli bagaimana perasaan Zini terhadap apa yang teman sekelas lakukan padanya. Mungkin, hanya Zini saja yang menganggapnya teman, tetapi tidak dengan gadis itu.
Pikiran Zini semakin menerawang jauh membuatnya semakin terluka. Hal yang telah dilakukan mereka padanya tentu sungguh menyakitkan, tetapi yang ada di pikirannya pun berpotensi menghancurkan gadis itu. Pikirannya yang kadang susah dikendalikan, hingga pikiran buruk selalu mengisi.
Lamunannya tersentak kala terdengar suara kunci dari pintu depan rumah. Gemerincing suara kunci itu menunjukkan bahwa orang yang membukanya sedang buru-buru ingin masuk. Zini yang berada di kamar segera menutup kembali tubuhnya dengan selimut. Kembali merenung dengan pandangan kosong dan air mata yang terus mengalir. Sesaat kemudian pintu kamarnya didorong hingga menabrak dinding membuat gadis itu terperanjat dalam lamunannya. Orang itu masuk ke kamarnya, mengguncang tubuhnya tak santai.
"Zi, lo gak papa, kan?" Zini yang mengenali suara penuh kekhawatiran itu perlahan bangkit dari posisi berbaringnya.
"Gue gak papa, emang lo mikir gue bakal ngapain?" tanyanya lesu.
"Syukurlah." Laki-laki itu menghela nafas ngos-ngosannya sembari merebahkan diri di lantai kamar, mengatur napas berkali-kali sambil memegangi dadanya yang sakit. "Gue takut lo mau bunuh diri lagi," katanya lagi. Dadanya masih naik turun tak keruan, pakaiannya tak serapi biasanya, rambut acak-acakan dan dasi yang tampak longgar. Dia tak tampak seperti Ian yang biasanya.
"Gue gak bakal ngelakuin itu! Tenang aja," tegas Zini masih dengan gaya lesunya.
Hening kemudian mendominasi ruangan sempit itu. Ian sengaja diam memberi ruang agar Zini bercerita bagaimana perasaannya, tetapi beberapa menit telah berlalu tanpa ada kalimat keluar dari mulutnya.
Gadis itu menyimpan semua perasaannya, prasangkanya, dan segala keresahan hatinya. Zini tak pernah mau berbagi padanya meski mereka sudah berteman sejak bayi. Ian merasa jadi teman yang tak berguna sebab tak bisa melakukan apa-apa untuk Zini. Meskipun tak bisa menjadi pahlawan untuk membalas perlakuan orang-orang yang mengejek Zini, setidaknya Ian mampu melapangkan perasaan Zini dengan berbagi cerita dan rasa sakit dengannya.
"Lo gak mau cerita sama gue?" Laki-laki itu memerhatikan Zini yang masih menatap kosong ke arah lantai.
"Cerita apa? Lo, kan, udah tahu semuanya." Zini menjawab tanpa menatap sang lawan bicara.
"Emm, orang bilang kita bisa berbagi rasa sakit sama orang lain dengan cerita apa yang kita rasain, katanya itu bisa bikin lega."
"Gue udah gak papa," ujar Zini kembali berbaring di kasurnya.
"Soal temen sekelas lo, apa itu gak berlebihan? Itu termasuk bully, loh," terang Ian.
"Mereka cuma becanda, Yan." Sesuai dugaan, Zini selalu menggunakan kalimat itu.
"Kalau lo gak tega laporin mereka, gue bisa lapor sama ketos, dia sekelas sama gue, lo ...."
"Lo mau bikin gue dimusuhi satu kelas!" potong Zini seraya bangkit dari posisi berbaring, matanya tampak membola menatap Ian. "Udah, deh, Yan, gue gak papa." Itu yang membuat Ian tak suka, Zini seolah baik-baik saja dan tak pernah membuat jera orang-orang yang mem-bully-nya.
"Ini yang gue gak suka dari lo, malah lebih marah ke gue daripada ke temen sekelas lo itu, padahal gue belain lo dari mereka." Ian melenggang keluar kamar setelah mengatakannya. Jelas sekali laki-laki itu kecewa.
"Yan, maafin gue! Gak gitu maksudnya," ujar Zini merasa bersalah.
"Yan!" panggil Zini. Ian berhenti di depan pintu.
"Gue mau masak buat lo, belum makan, kan?" Kini nadanya berbeda buat Zini tak sadar menarik bibir membentuk senyuman, hal yang paling ia suka dari Ian. Semarah apa pun laki-laki itu, dia tak pernah bisa mengabaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...