Bab 16

17 11 0
                                    

Tidak ada hari yang paling menyenangkan dibanding hari ini. Diundang ke rumah Aji, dibonceng sendiri oleh laki-laki itu, berkenalan dengan ibu dan adiknya, makan bersama di meja keluarga tersebut dan sekarang, Zini sedang pendekatan dengan satu-satunya adik Aji. Mereka sedang berbincang di teras rumah yang sejuk dengan berbagai jenis tanaman di halaman maupun yang tergantung.

“Menurut Kakak, aku mirip Bang Aji gak?” tanya gadis itu menatap Zini penuh perhatian.

“Hmm, kayanya kalian gak mirip, deh,” jawab Zini ragu.

“Aku setuju!” Gadis itu langsung duduk tegap menghadap Zini. “Masa ada yang bilang kami mirip, apanya yang mirip antara aku sama Bang Aji? Kita sama sekali gak mirip!” celoteh gadis itu.

Adik Aji ini merupakan tipe cewek bawel yang banyak bicara, sangat berkebalikan dengan Aji yang menurut Zini irit dalam berbicara. Karena Zini juga tipe yang tak jauh beda dengannya jadilah mereka seperti sudah kenal lama.

Pembicaraan mereka terhenti saat ponsel gadis itu berdering, ekspresi wajahnya tampak lebih ceria dan antusias. Sesaat setelah panggilan berakhir gadis itu berteriak tertahan.

“Aaahh, akhirnya!!!” katanya seraya mengepal kedua tangan begitu antusias, sampai-sampai dia lupa ada Zini di sampingnya yang menatap dengan wajah penasaran.

“Eh, sori yang Kak, aku lupa ada Kakak.” Gadis itu menyeringai lebar, lalu meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. “Yang barusan nelpon aku itu temen yang sangat berarti buat aku dan Bang Aji, kita udah lama gak ketemu dan katanya besok dia mau pulang ke sini lagi. Aku seneng banget!”

“Wah, selamat, ya. Bentar lagi ketemu teman lama, nih, ceritanya,” Zini melingkarkan lengannya di bahu gadis itu sembari ikut tersenyum senang. Pasti teman yang diceritakannya itu cowok ganteng, sampai-sampai gadis ini sebegitu senang.

“Tapi Kak, jangan bagi tahu sama Bang Aji dulu ya! Katanya dia mau buat kejutan.”

“Oke, deh. Rahasia dikunci!” Zini membuat gestur mengunci mulutnya.

“Pulang sekarang, Zi?” tanya Aji yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah minimalis itu dengan kunci motor di genggaman tangannya.

“Iya, katanya nenek mau pulang sore ini, dan kunci rumah aku yang megang, soalnya.” Zini bangkit berdiri, dari dalam keluar ibu Aji yang langsung disalaminya. “Zini pulang, Bu.”

“Iya, hati-hati di jalan, ya!” Wanita dengan sedikit kerutan di area mata itu tersenyum ramah, ia menepuk bahu Zini lalu mengalihkan perhatiannya pada Aji. “Bawa gadis cantik gak boleh ngebut ya, awas lecet jodoh orang gara-gara kamu!” peringatnya yang kedengaran manis sekali di telinga Zini.

“Iya, Bu. Gak bakal ngebut kok,” jawab Aji sembari memasang helm lalu memberi helm satu lagi pada Zini.

Mereka berpamitan dan segera meluncur membelah jalanan sore yang mulai ramai.

Malam semakin larut, ditengah kesunyiannya hanya dering ponsel yang terdengar mengusik tidur seorang gadis di meja riasnya. Karena posisi yang kurang nyaman, akhinya dia terbangun. Matanya menatap tajam pada ponsel yang masih berdering dengan panggilan dari nomor tak dikenal.

“Salah sambung!” ujar Zini spontan sesaat setelah menerima panggilan itu.

“Gue Tasya!” sahutan dari seberang menggagalkan aksinya untuk menutup panggilan secara sepihak. “Zi, cek grup sekolah kita deh! Lo jadi tranding topik lagi!” Ah, Zini baru ingat. Dia gadis tukang make up itu, yang pernah bilang mau berteman dengannya.

Zini berdehem pelan, menetralkan suaranya yang serak khas bangun tidur. “Ekhem, udah biasa kali!” katanya dengan nada bangga.

“Gosip kalau lo cantik karena dukun makin nyebar, mereka termakan ucapan Tara di sekolah tadi!” Tepat saat itu juga tubuh Zini menegang dengan mata membola. Ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir dengan mata yang mulai liar dan tangan yang mengusak kasar rambutnya.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang