Bab 9

33 13 0
                                    

Riuh tepuk tangan memenuhi lapangan, tempat para siswa berkumpul menyaksikan penampilan telah selesai dibawakan. Zini yang hanya melihat dari jauh juga ikut bertepuk tangan antusias. Acara pertunjukan penampilan siswa sudah dimulai, jadi suasana tak begitu membosankan. Di tangannya ada beberapa lembar kertas HVS yang menampilkan sketsa wajah laki-laki tampan di kertas paling atas.

Silih berganti sudah yang naik dan turun panggung. Aji masih belum mengajak Zini untuk mengambil tempat di depan panggung. Padahal semakin lama sudah semakin sedikit tempat duduk yang tersisa. Meski begitu masih banyak juga siswa yang masih berkeliaran di stan-stan yang ada. Jika diamati yang paling ramai itu stan klub kewirausahaan, mereka menyediakan berbagai makanan ringan, stan mereka seperti toko oleh-oleh mini. Memang mereka yang paling ramai dari tahun ke tahun. Selalu ada hal yang menarik disajikan.

"Stan klub kewirausahaan selalu ramai, ya," ujar Zini spontan, tatapannya mengarah ke stan yang berada lumayan jauh di sebelah kiri mereka.

"Ya, iyalah, mereka jualan cemilan, siapa yang gak suka cemilan?" Aji bertanya retoris.

"Tapi yang mereka jual juga bukan cemilan biasa, selalu ada yang unik dari yang mereka jual. Kalau stan kita bisa kasih sesuatu yang unik mungkin bisa rame kaya mereka juga." Zini menatap Aji meminta dukungan atas kalimatnya barusan.

"Kita? Lo, kan, bukan anak klub," ujar Aji tanpa ekspresi.

"Em, itu, eee ... iya juga, ya," Zini menekuk wajahnya malu. Bisa-bisanya berkata seperti itu seolah ia adalah bagian dari klub itu. Padahal ia hanya menumpang duduk saja.

"Lucu banget, sih, gue cuma becanda, hahaha ...."

Aji malah tertawa sampai matanya hanya tinggal segaris dan itu sangat manis.

"Gemes," katanya sembari mencubit pipi Zini.

Gadis itu menutup wajah, setengah mati menahan malu. Entah seperti apa wajahnya sekarang, yang jelas senyumnya tak mau turun sejak tadi menimbulkan sensasi pegal di sana.

Meski beberapa saat kemudian Aji sudah berhenti tertawa dan menyuruh Zini membuka wajahnya, tetapi gadis itu masih enggan menyingkirkan tangan dari depan wajah. Tangannya masih betah di sana, padahal lengannya sudah minta diistirahatkan.

"Zini, udah dong malunya, sans aja kali." Aji semakin merapatkan kursinya mendekati Zini. "Jangan ditutup wajahnya! Kalau gini lo tambah lucu."

Zini," panggil Aji sembari kedua tangannya mendarat di pergelangan tangan gadis jelek yang berubah menjadi cantik itu. Menarik turun tangan Zini agar tak lagi menutupi wajah.

Karena terkejut spontan Zini menarik kembali tangannya ke depan wajah, namun tak sampai menutupi mata sebab Aji masih menahannya. Tindakan spontan keduanya membuat tubuh mereka semakin rapat. Alhasil, keduanya saling berhadapan dengan jarak yang tak bisa dibilang lumayan. Ini terlalu dekat, bahkan Zini dan Ian tak pernah sedekat ini.

Sepersekian detik kemudian denting ponsel Aji mengalihkan perhatian hingga laki-laki itu memutus tatapannya lalu melepas genggamannya pada pergelangan tangan Zini. Meraih ponselnya yang berada di atas meja stan lalu menatap Zini sebentar sambil berkata, "Setelah ini Vira tampil."

Zini hanya mengangguk saja sembari mengalihkan pandangan ke kertas HVS di atas meja, masih canggung atas kejadian barusan.

"Yuk, ke kursi depan panggung!" ajak pemuda tampan itu sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Zini berdiri. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan langsung saja ia menyambut uluran tangan itu. Doakan saja supaya gadis kasmaran ini tidak hipertensi karena perlakuan sang pujaan yang memang tak bisa membuat jantungnya tenang.

Zini menunduk, mengarahkan pandangan ke rumput di lapangan. Entah sejak kapan perhatian orang-orang tertuju pada mereka. Ia tak mau melihat wajah yang menatap menelisik ke arahnya. Tatapan tajam yang selalu ia terima dan tatapan menilai penampilannya selalu menguasai pikiran kalau diperhatikan seperti ini. Jadi, ada sedikit trauma dalam dirinya.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang