Bab 3

43 22 0
                                    

“Gue mau mati!” Teriakan itu melayang di udara bersama dengan pemiliknya.

Zini jatuh, meringis nyilu merasakan angin menampar erat punggungnya. Debarannya makin menggila kala membayangkan kematian di depan mata. Seolah terombang ambing di udara, Zini menggapai-gapai sesuatu untuk dijadikan penopang, kakinya pun bergerak tak keruan mencari pijakan. Harusnya ia puas dengan hal yang ia lakukan, tetapi Zini malah merasakan sebaliknya. Ia ingin hidup. Mati dengan cara seperti ini sama saja menunjukkan pada semua orang bahwa ia begitu menderita. Hingga sesaat kemudian tubuhnya jatuh menubruk lapangan voli di bawahnya. Debuman keras menyita perhatian banyak orang, para siswa mulai mencari sumber suara.

Kebas, seperti ia tak lagi berada di tubuhnya sendiri. Zini ingin bangun dari posisi telungkupnya, tetapi tenaganya tak cukup untuk itu semua. Remuk kemudian terasa di sekujur tubuh, tak ada yang bisa digerakkan barang sedikit saja. Perih dan panas tiba-tiba terasa di mana-mana. Cairan kental berwarna merah mulai tampak menetes setelah mengalir dari hidungnya.

Zini ingin minta tolong pada siapa pun yang bersedia. Tepat saat kerongkongannya akan mengeluarkan suara, sesak terasa seolah seluruh pasokan udara tak mau masuk ke paru-parunya.  Selanjutnya ia sadar ada rasa nyeri seperti ditindih dan ditusuk-tusuk di bagian kepala yang membuatnya tak bisa bahkan untuk sekedar mendongak, memandangi wajah-wajah dari beberapa orang yang kini terdengar melangkah mendekat.

Buram, hanya cahaya yang semakin menipis yang Zini dapat tangkap dari penglihatannya. Selanjutnya kegelapan menyapa, menenggelamkannya dalam penyesalan tak berarti. Tidak. Zini belum mati, ia belum mau mati.

Apalagi dengan cara seperti ini, tak akan ada yang berubah jika dia mati secepat ini. Ini hanya akan membenarkan ucapan orang-orang kalau Zini itu si jelek yang merusak pemandangan, hanya beban yang harus dienyahkan, tak berguna, serta segala ungkapan merendahkan yang sempat mereka ucapkan. Mati dengan cara seperti ini hanya akan membenarkan ungkapan mereka tentang Zini. Seseorang tolong Zini! Bangunkan ia agar bisa hidup kembali. Zini belum bahagia dan tak mau mati muda.

“Zini!”

“Zi, bangun!”

“Zini jelek, bangun woyy!”

Gadis itu tampak tergemap, matanya langsung membola meski sesaat kemudian mengernyit, meringis pegangi kening yang sudah bengkak. 

“Yan, ini mimpi ya?” tanya gadis itu dengan tangan meremas lengan sang sahabat yang telah membangunkannya. Cowok dengan seragam kelewat rapi, kacamata bertengger manis di atas hidungnya dengan tampilan yang orang-orang bilang culun. Hal yang membuatnya berada di tingkat berbeda dari Zini ialah otaknya yang cemerlang, tak bisa disetarakan dengan Zini yang memiliki otak sebelas duabelas dengan wajahnya, gelap seperti jalan buntu.

“Lo kenapa bisa jatuh dari tangga, ha?” Ian—sahabatnya tak menanggapi ocehan Zini, ia sibuk membantu Zini duduk dan membersihkan debu-debu yang melekat di pakaian si gadis jelek.

Zini mengedarkan pandangannya, koridor sepi dan beberapa ranting pohon tampak di balik pagar balkon. Ini di lantai atas gedung sekolah. Ia menoleh ke belakang hingga tampak tangga yang lumayan tinggi ke arah atap, di pintu yang menghubungkannya tampak gembok besar menggantung. Apa mungkin Zini kembali ke waktu sebelum ia jatuh dan mati? Pasti ini mimpi.

“Yan, jawab gue! Di dunia nyata gue udah mati, ya?” tanya si gadis semakin meremat erat lengan Ian.

“Lo kesambet apa, sih? Make up acak-acakan, baju berantakan, dan … ngomong apa lo tadi?” Air muka Ian berubah. Zini hanya menggeleng cepat, lalu mencubit pipinya sendiri.

“Aww, sakit,” katanya lalu menatap Ian dengan binar matanya. “Yang ini asli, yang tadi mimpi! Alhamdulillah ya Allah, Zini masih hidup.” Gadis itu berteriak tak tahu diri sembari mengusap wajah beberapa kali dengan tangannya.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang