Bab 5

41 17 0
                                    

"Lo yakin ke sekolah dengan penampilan begitu?"

Yang di tanya memperhatikan kembali penampilannya. Rok panjang rapi, sepatu bersih dan seragam tertutupi jaket dengan tudung kepala menutupi rambut serta masker terpasang di wajah. Dengan begini tak ada yang akan melihat wajahnya.

"Lebih baik gini daripada mereka menghina gue lagi." Zini tersenyum miris. Apalagi setelah kejadian itu, pasti fans-nya bertambah pesat, atau mungkin mereka sudah membuat grup fandom. Ah, sudahlah, Zini seharusnya tak perlu buang tenaga untuk memikirkan hal itu. Gadis itu menenggelamkan tangannya di lengan jaket, embusan angin pagi begitu dingin, jalanan yang basah menunjukkan ia telah diguyur hujan.

"Tapi penampilan lo ngundang perhatian, Zi." Ian menghela napas, ia sudah peringatkan gadis itu sejak bertemu di depan rumah, tetapi si jelek terus membantah.

Rumah mereka memang berdekatan, begitu pun hubungan kedua keluarga itu. Bahkan, nenek Zini percaya menitipkan kunci rumah mereka ke keluarga Ian.

Sebentar lagi mereka akan sampai ke sekolah. Meski angin dingin menusuk kulitnya, Ian tak mengurangi kecepatan motornya.

"Gak papa, mereka cuma bisa liat dan penasaran. Setidaknya gue gak dengar mereka mengejek gue." Zini berujar. Sebenarnya ia juga ragu mereka tak mengenalinya. Berdoa saja agar tak ada teman sekelas yang melihatnya di koridor, sebab jika sudah di kelas Zini sudah biasa mendengar ocehan mereka.

"Sama aja, Zi, di kelas pasti mereka gak bisa diam liat lo," ujar Ian, nada suaranya lebih lemah dari sebelumnya.

"Sekelas gak pernah lebih banyak dari satu sekolah. Gue masih sanggup kalau ngadepin anak kelas. Tenang aja, gue lebih kuat dari yang lo bayangin," tegas Zini sembari menepuk bahu Ian perlahan.

Setelahnya Ian berhenti sebab telah sampai di depan gerbang sekolah, Zini turun dari motornya dan melambai tangan lalu hilang ditelan banyaknya siswa-siswi yang berjalan ke arah gedung sekolah. Ian mencoba percaya saja dengan temannya itu, Zini benar, dia lebih kuat dari yang Ian bayangkan. Dia bahkan masih sanggup pergi sekolah setelah ditertawakan satu sekolahan.

Ian memasuki gerbang, berbelok ke kiri arah area parkir yang tak pernah Zini jamah. Parkir selalu jadi tempat tongkrongan siswa sebelum bel berbunyi, terlalu bahaya untuk ke sana.

Zini telah berjalan di koridor yang ramai tanpa memandang ke depan, ia tak berani menatap wajah-wajah yang ada di sini. Cukup memandangi jalan saja agar tak jatuh dalam langkah cepatnya. Beruntung, kali ini semesta berpihak padanya, tak ada hal berarti yang terjadi di koridor depan. Mereka semua memang memandanginya penasaran, seperti yang Ian beritahukan sebelumnya, penampilan Zini memang mengundang perhatian orang-orang.

Senyuman mengembang di balik maskernya, pintu kelas telah tampak semakin dekat. Zini memasuki kelasnya yang hening seketika kala langkah pertamanya mendarat. Seluruh perhatian kelas tertuju padanya buat gadis itu gemetaran seketika. Tatapan mata itu masih Zini ingat, tatapan menilai yang begitu menusuk matanya. Tapi kali ini tatapan itu lebih terasa mengintimidasi, terutama dari Tara. Gadis itu melangkah maju menghampiri Zini yang diam di ambang pintu, menarik lengan Zini menuju area tengah depan kelas.

"Heh, jelek! Lo ngadu, ya, sama guru BK?!" sentak gadis itu sembari melepas kasar tangannya dari lengan Zini.

"Ngomong apaan, sih, lo!" balas Zini balik menatap tajam Tara.

"Jawab gue! Lo ngadu sama guru BK?" tanya Tara kembali sembari mendorong kasar bahu Zini. Para penghuni kelas menunggu jawaban dari Zini, tatapan mereka sama tajamnya dengan Tara. Zini menyapu pandangan hingga bersitatap dengan Lula, gadis itu membuang muka.

"Kalaupun gue ngadu ke BK, kayanya itu hal yang wajar setelah apa yang lo dan yang lain lakuin ke gue!" Zini mencoba menjawab santai sembari melenggang ke kursinya, tampak sebagian besar dari mereka membolakan mata.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang