Bab 18

18 12 0
                                    

Zini menggeram tertahan, bagaimana mungkin Aji tak mau menerimanya hanya karena gadis cacat yang sama sekali tak cantik itu. Wajahnya biasa-biasa saja. Bahkan, dari jauh saja Zini bisa melihat begitu banyak kekurangan pada gadis itu. Ini tidak boleh dibiarkan!

Dengan tangan mengepal serta langkah yang menghentak kasar Zini menuju tempat itu. Ia perlu memastikan bahwa gadis itu bukan siapa-siapa dalam kehidupan Aji. Bersamaan dengan perginya Zini menuju gadis itu, Aji pun nampak pergi dari sana memunggungi Zini.

“Hei, lo siapanya Aji?” tanya Zini membuat gadis itu menoleh ke samping menyadari kehadiran Zini.

Gadis itu tampak meliriknya dengan tampang tak suka, matanya yang menyorot Zini dari ujung kaki hingga ujung kepala membuat Zini merasa ditelanjangi. “Kayanya gue pernah liat lo, deh,” ujarnya tak peduli dengan pertanyaan yang barusan Zini lontarkan.

“Ahh, gue ingat.” Gadis itu mengangguk sembari mengetuk kening dengan jari. “Lo mainan Tara yang jadi badut di lomba modelling?” ujarnya tanpa rasa bersalah.

Dia tahu dari mana?

Zini menggeram menahan amarah, buku-buku jarinya memutih karena mengepal terlampau kuat.

“Gue bukan mainan Tara!” ujarnya dengan nada rendah.

“Oh, lo nanya gue siapanya Aji? Emang lo siapa?” Gadis cacat itu bertanya sinis, sepertinya dia bukan tipe yang bisa dianggap remeh oleh Zini.

“Gue …, gu-gue temen dekat Aji.” Zini kelabakan, kenyataan bahwa ia sudah ditolak Aji begitu menyedot percaya dirinya.

“Hmm, gue udah hapal yang kaya beginian,” ujar gadis itu menopang dagu, tangannya bertumpu pada sisi kursi roda. “Lo suka Aji?”

Zini terpaku dengan tatapan tajam si gadis cacat, aura gadis itu terasa mengerikan. Bahkan, rasanya dia lebih mengerikan dibanding Tara, si gadis berbisa.

“Perlu lo tahu, kalau Aji itu calon pacar gue. Mungkin selama ini dia butuh seseorang buat main-main, dan lo salah satu mainan dia sementara nunggu gue pulang dari pengobatan di Singapura.” Gadis itu lalu mengedikkan bahu. “Wajar sih, lo kelihatan cemburu. Tapi gue ulang sekali lagi, lo cuma mainan!”

Cukup. Setelah mengatainya badut di lomba modelling, mainan Tara, dan sekarang Zini disebut mainan Aji. Sebelum dia mengatakan lebih banyak lagi hal menyakitkan, Zini menendang keras kursi roda itu hingga menabrak bangku di belakangnya. Gadis itu terguncang kuat sembari mempertahankan dirinya agar tak jatuh. Kali ini mata tajamnya menusuk Zini yang ikut menatap dengan berang.

“Sialan! Lo itu cuma boneka, mainan semua orang!”

“Lo yang sialan!” Zini kehabisan stok kesabaran, tanpa aba-aba ia menjambak rambut si gadis cacat hingga kepalanya mendongak menghadap wajah Zini yang memerah marah. “Dasar cacat, lemah, jelek, lo cuma jadi beban kalau jadian sama Aji! Arghh!” Zini berteriak kesakitan pula saat gadis itu ikut menarik rambut bob kesayangannya.

“Gak tahu diri! Lo juga dulunya lebih jelek dari gue, Burik!” Gadis itu berbisik tepat di telinga Zini.

Aksi tarik-tarikan rambut itu terlihat oleh Aji dari kejauhan. Malang, belum sempat melerai, sentakan yang Zini buat membuat kursi roda itu oleng hingga si gadis cacat jatuh dari kursi rodanya.

“Yuki, awas!” teriak Aji khawatir, kepala gadis itu terbentur sisi bangku taman.

“Zini!” bentakan Aji membuat Zini terkejut sekaligus takut. Aji menatap nyalang, sangat berbeda dari yang biasa ia tunjukkan. “Lo ngapain, sih, di sini! Sengaja nyelakain sahabat gue?”

Zini hanya mematung tak menjawab sama sekali, sakit di hatinya tak sudah terkata. Melihat bagaimana Aji memperlakukan si gadis cacat membuat lukanya semakin menganga. Sampai tak sadar air mata sudah jatuh menganak sungai di pipi.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang