Bab 20

19 11 0
                                    

Zini membuka mata pelan setelah tersadar beberapa saat lalu, matanya disambut dengan langit-langit putih khas rumah sakit. Tubuhnya terasa lemah, serta pandangan yang masih buram. Saat beralih ke samping, pandangannya mulai jelas. Tampak neneknya tengah tersenyum menatap penuh perhatian.

“Syukurlah, kamu udah bangun.” Nenek menangkup kedua tangan ke muka. Senang hatinya tak terkata melihat sang cucu masih mau membuka mata. Sempat terbesit di pikirannya sang cucu akan pergi selamanya, karena telah terikat dengan benda ajaib itu.

“Zini kok disini, Nek?” tanya Zini yang terdengar seperti bisikan dengan suara serak. Matanya liar mengamati tiap sudut ruangan bersekat tirai yang juga ditempati oleh pasien lain.

“Tadi kamu pingsan, jadi Nenek bawa ke sini,” ujar Nenek singkat. Sementara Zini masih menggali ingatannya tentang apa yang baru saja terjadi.

Ia ingat, sebelumnya Zini sempat berebut bola berwarna emas hingga ia jatuh ditimpa Nenek. Bola itu lepas dari tangannya, lalu Zini merasakan energinya seperti ditarik paksa dari tubuhnya hingga ia lemas tak berdaya lalu kehilangan kesadaran.

“Nek, cincinnya mana?” tanya Zini menatap Nenek dengan tatapan polos. Meski tujuannya sama, pertanyaan itu ditanyakan dengan cara yang berbeda. Yang ini baru cucunya, Nenek tersenyum senang.

“Gak usah dipikirin dulu, ya! Fokus aja sama kesehatan kamu, nanti Nenek kasih tau cincinnya ke mana,” ujar Nenek sembari mengelus rambut Zini. “Sekarang istirahat dulu supaya tubuh kamu pulih dan kita bisa pulang secepatnya, ya!”

Zini mengangguk lemah, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlalu memikirkan mengapa ia begitu terobsesi dengan cincin ajaib tersebut. Memang cincin itu bisa membuatnya menjadi cantik, tetapi Zini tak akan sanggup berontak jika Nenek sudah melarangnya. Ia juga masih ingat bagaimana sengitnya aksi rebutan bola tersebut, dia bahkan sudah mengatakan kalimat kasar pada Nenek. Ada apa dengan dirinya?

Matahari sudah tergelincir dari posisi tertinggi. Zini pun sudah terbangun dari tidurnya, tubuh gadis itu sudah baik-baik saja, tenaganya telah kembali. Sekarang ia tengah disuapi makanan oleh sang Nenek.

“Gini banget rasanya!” ujar gadis itu setelah satu suapan berhasil melalui kerongkongannya.

Nenek tersenyum mendengar keluhan Zini. “Jangan mencela makanan! Kaya kamu bisa masak yang lebih enak aja.” Biasanya Nenek akan mengatakannya dengan nada marah, tapi kali ini justru kalimat itu terdengar peringatan yang manis.

Zini ikut tersenyum. “Bisa! Bubur buatanku bahkan lebih enak dari buatan Ian, kalau Nenek lupa,” ujarnya tak mau kalah. Teringat kembali saat pertama kali mengajari Zini dan Ian memasak bubur, buatan Zini waktu itu lebih enak dari buatan Ian.

“Tapi sekarang bubur buatan Ian lebih enak dari buatanmu, kalau kamu lupa!” balas Nenek kembali.

Dan begitulah hubungan mereka berdua kembali membaik. Sedari dulu tak ada hal besar yang mampu membuat Zini berontak pada Nenek. Nenek percaya, Zini cukup pandai memahami keadaan mereka berdua yang hanya memiliki satu sama lain. Tak ada hal besar yang mampu membuat keduanya meninggalkan yang lainnya.

Setelah empat hari tak masuk sekolah, hari ini Zini akan kembali ke sekolah. Dia bisa menerima ketika Nenek mengatakan cincin ajaib yang memberikan pengalaman berharga baginnya telah hilang di bawah rak koleksi barang antik ruang depan. Tempat pertama kali ia menemukan cincin tersebut. Hanya satu penjelasan yang ia percaya, benda itu kembali ke tempat asalnya.

Zini sama sekali tak mempermasalahkan kondisi wajahnya, sebelumnya juga dia datang ke sekolah dengan wajah seperti ini sebelum memakai cincin itu. Jika nanti jadi sasaran bully, Zini tinggal lawan saja. Sudah seharusnya Zini menguji keberaniannya untuk hal yang berguna.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang