Bab 2

50 23 9
                                    

"Zini, lo siap, kan?" Lula kali ini tampak merapikan anak rambut Zini ke belakang telinga.

Senyumnya mengembang penuh bangga menatap Zini di depannya. Yang ditatap hanya mengangguk malu hingga rona merah tampak sedikit muncul dari balik make up yang dipakainya. Dalam ruangan ini hanya ada ia dan Lula. Zini meminta agar ruang tunggunya beda dengan ruangan peserta lain.

Temannya setuju dengan alasan, para peserta akan menghancurkan kepercayaan diri yang sudah Zini bangun kalau mereka satu ruangan. Jadilah ia berada di sini, ruang pramuka yang berada dekat dengan panggung catwalk.

Ruangan pengap ini lumayan gerah, matahari pasti tengah berada di titik tertingginya. Selain itu, hanya terdapat dua jendela yang terbuka, jendela rendah yang menghadap koridor ditutup atas permintaan Zini, hanya dua lainnya di arah berlawanan yang dibiarkan terbuka. Bau cat kayu yang menguar dari beberapa tongkat yang sepertinya baru saja dicat dewan ambalan begitu menyengat, mendominasi ruangan minim udara segar tersebut. Zini mengamati sudut ruangan, tongkat dan tali menumpuk di sana, serta tiang lengkap dengan bendera lambang tunas kelapa. Di atas meja terdapat pula bendera merah kuning bertangkai pendek yang entah apa gunanya.

Ternyata mengamati ruangan dengan mengalihkan perhatian padanya tak cukup untuk mengusir gemetarannya. Degup jantungnya bahkan sudah dangdutan sedari tadi. Waktu hanya tinggal menghitung menit, mereka bilang Zini akan jadi peserta terakhir karena diurutkan berdasarkan abjad. Meski rasa malu masih menjadi penghalang, Zini tetap antusias. Yang memberatkan langkahnya sedari tadi, ia belum tahu bagaimana rupanya setelah di make over. Lula terus bilang bahwa ia sangat berubah, jauh lebih cantik katanya.

Bukannya tak percaya, pengalaman buruk yang sering ia dapat membuat pikirannya pun dipenuhi oleh hal negatif. Takut ini, dan takut itu. Segala hal negatif berseliweran di benaknya. Namun sekali lagi, Zini hanya percaya pada Lula.

"Lo ada cermin gak? Penasaran, nih, sama muka gue." Zini kini menyelidik ke seluruh sudut ruangan. Mana tahu, ada cermin terselip di sela lemari atau peralatan yang ada disini, tetapi sedari tadi mengamati, tak ada tampak cermin sama sekali.

"Di ruang tunggu peserta ada, tapi lo malu kalau ke sana, kan?" Zini mengangguki ucapan Lula. "Percaya sama gue, Zini, lo cantik!" sambung Lula tegas.

"Lo terus bilang gitu, sih, gue kan makin penasaran." Zini bersemu malu.

"Ayo, bentar lagi giliran Zini!" Pintu terbuka menampilkan Tara dan gadis yang memegang tanggung jawab pada make up Zini hari ini.

"Kalau gitu, gue duluan ke lapangan, ya," ujar Lula setelah sebelumnya menepuk bahu Zini.

"Sini sini! Touch up dulu, bedaknya udah mulai luntur." Zini segera ke depan pintu menerima sapuan bedak dan entah apa benda lainnya yang mulai menyentuh wajahnya.

Setelahnya dia dibawa ke depan panggung untuk mulai berjalan di panggung kecil yang panjang itu. Beberapa mata yang sempat bersitatap dengannya tampak membola. Sebegitu terkejutnya mereka dengan perubahannya, Zini sangat penasaran bagaimana rupanya sekarang.

MC beberapa detik yang lalu telah meneriakkan namanya, maka dengan penuh percaya diri Zini berjalan dengan santai sesuai yang diajarkan. Kakinya menapaki panggung dengan jalan setapak itu. Senyum tak luntur dari bibirnya. Tiga langkah telah dilewati seketika penonton terdiam hening. Persis saat langkah keempat telah jatuh ke permukaan panggung tawa tertahan mulai terdengar di mana-mana. Hingga tepat pada langkah kelimanya di atas panggung suara tawa membahana dari kerumunan orang-orang yang sedang menontonnya.

Zini bertanya-tanya dalam hatinya, adakah sesuatu yang lucu dari penampilannya kali ini? Atau ... mungkin terjadi sesuatu di belakangnya yang tak ia ketahui, tetapi Zini tetap fokus tak memperhatikan apa pun hingga saat ia sampai di ujung panggung. Satu teriakan menghentikan langkahnya.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang