Bab 10

33 13 1
                                    

Mematut wajah di depan cermin, memoles sedikit wajahnya dengan bedak yang ia punya. Sekilas melirik bayangan sisa bedak tabur pada wadah yang sudah hampir habis. Dirasa sudah siap, ia merapikan anak rambut ke belakang lalu menoleh ke jendela kamar yang mengarah ke depan rumah. Senyumnya mengembang, segera membawa langkah ke luar kamar.

“Astagfirullah  hal’azim.” Nenek yang tengah mengelap wadah kuno di ruang depan terkejut melihat keberadaan Zini.

“Nenek kok segitunya, kaya liat hantu aja,” sunggutnya kesal, menarik maju bibirnya.

“Ini hari apa?” tanya nenek membuat kerutan tampak di kening Zini.

“Hari minggu, emang Nenek lupa?” jawab Zini tak mengerti maksud pertanyaan neneknya.

“Cucu Nenek itu biasanya kalau hari minggu bangunnya pas berita selebriti tayang di TV, gak sepagi ini,” jelas nenek.

“Emang gak boleh kalau Zini bangun pagi-pagi?”

“Bukan gak boleh, tapi aneh!”

“Ya udah, deh, Zini pamit ya ,Nek, mau ikut Ian belanja di pasar.” Zini menyalami tangan neneknya.

“Hati-hati, kaki kamu masih pincang, loh,” pesan nenek yang diangguki oleh Zini. Ia berlalu ke luar dari rumah, bergeges ke rumah Ian.

Tepat di depan rumahnya Ian telah siap dengan sepeda motornya. Sedikit terkejut dengan kedatangan Zini yang tiba-tiba berada di depan rumah.

“Ngapain?” tanyanya singkat dengan tatapan mengarah pada jalan raya yang jauh di depan sana.

“Mau ke pasar nemenin Ian,” jawab Zini dengan posisi dua tangan di belakang tubuh sembari memutar bahu ke kanan dan kekiri.

“Gaya lo, sok imut! Biasa aja!”

“Iya, iya! Tapi aku ikut, ya.” Gadis itu akhirnya bersikap sewajarnya.

“Gak usah, pulang aja sana,” perintah Ian sembari sibuk melipat kertas list belanjaan lalu melipatnya kemudian dimasukkan ke dalam saku. 

“Masih marah ya, sama gue?”

“Ya, iyalah. Lo gak pernah bisa ngehargain apa pun yang gue lakuin buat lo!” Ian meluapkan kekesalannya, tatapannya kini di alihkan pada kuntum bunga kembang sepatu di halaman rumah.

“Iya, maaf. Tapi Zini boleh, kan, nemenin Ian ke pasar?”

“Gak usah, ntar bukannya bantuin malah nyusahin,” putus Ian.

“Emang gue seenggak berguna itu, ya?” Zini menundukkan kepalanya, berbicara dengan nada rendah dan memelas yang membuat Ian seketika mengalihkan perhatian padanya. “Padahal gue udah bela-belain bangun pagi cuma buat nemenin lo ke pasar, kaki juga masih pincang, ini permintaan maaf gue buat yang kemarin.”

“Gue juga tadi sebenarnya masih ngantuk banget, tapi gue paksain buat bangun biar ….”

“Naik cepet!”

Zini menegakkan wajahnya. Ian sudah duduk di jok depan motor. Secepat kilat ia menempati jok belakang sembari berpengangan pada bahu Ian.

“Makasih, the one and only sahabat gue yang paling baik sedunia,” ujar Zini.

Setelah motor melaju meninggalkan pekarangan rumah Ian menuju jalan raya di depan gang. Ian yang mendengarkan kalimat itu spontan menarik lengkungan tipis di bibirnya kekesalannya menguap entah ke mana, ada gejolak yang selama ini selalu diredam di dalam sana.

Sudah beberapa toko yang dilewati oleh dua sahabat sejak kecil itu, beberapa barang telah dibawa di dalam jinjingan kresek plastik. Zini masih saja mengajak Ian ke sana dan ke sini, masuk toko keluar toko. Membeli berbagai macam alat kecantikan.

Pasar semakin ramai oleh pengunjungnya, pengap dan bau keringat mulai terasa hingga lama-lama terbiasa di penciuman.

Ian hanya menurut saja ke mana tangannya ditarik oleh Zini. Gadis itu memang selalu menyebalkan, alasannya ingin menemani Ian belanja tapi lihatlah sekarang malah sebaliknya.

“Ini sebenernya lo mau nemenin gue belanja atau gue yang nemenin lo belanja?” ujar Ian kesal dengan sikap Zini, ia berhenti di depan penjual sayur dengan beberapa pembeli yang sedang memilih sayur.

“Hehe, lo mau milih sayur apa lagi? Toge, bayam, kangkung?”

“Udah ya, lo diam aja di situ, gue masih bisa milih sendiri. Lagian toge itu belinya gak dipilih-pilih, bayam gak masuk di gado-gado dan kangkung barusan udah kita beli,” jelas Ian sembari memilih kentang, pembeli sebelumnya sudah selesai belanja.

"Zi, lo belajar make up dari mana, bisa langsung cantik gitu?" tanya Ian, suaranya yang agak kecil tertelan suara riuh penghuni pasar.

"Hmm, apa? Gak denger." Zini berjongkok di samping Ian sedikit mengibaskan tangan pada sekumpulan lalat yang tiba-tiba muncul di depannya. Bau tak sedap menguar sebab tak jauh di sampingnya terdapat keranjang berisi sayuran busuk.

Ian mengulangi pertanyaannya, buat Zini meremat jemari gugup.

"Gue belajar dari internet, nonton video tutorial make up."

"Tapi bukannya lo baru beli make up sekarang?" tanya Ian lagi, kali ini ia beralih mengambil kacang panjang.

"Ini ... ini yang baru. Yang lama udah habis pas gue belajar. Iya, udah habis. Kan, kalau belajar butuh beberapa kali coba, makanya cepat habis." Zini meyakinkan Ian dengan alasannya.

"Ooh, gitu." Gadis itu menghembuskan nafas lega. "Padahal gue sukanya lo yang dulu, sebelum kejadian itu. Lo tampil apa adanya, gak perlu malu walau banyak yang ngejek."

"Sekarang udah beda, Yan, gue gak bisa lagi nunjukin wajah yang dulu. Itu aib buat gue." Zini bangkit berdiri.

"Gak papa, gue gak minta lo jadi kaya dulu lagi, tapi gue minta supaya lo tetap jadi sahabat gue yang baik dan rendah hati, ya." Ian berdiri sembari menepuk pundak Zini pelan, ia segera membayar belanjaannya lalu bersama Zini melalui lorong pasar yang semakin terasa pengap dan gerah.

Selesai mereka membeli sayuran untuk persediaan di kedai gado-gado ibu Ian, mereka segera pulang.

Perjalanan pulang mereka mengobrol macam-macam, hingga tak terasa motor telah berbelok ke dalam gang rumah mereka. Ian berhenti di depan rumah Zini, matanya terus perhatikan kaki gadis itu yang tak lagi tampak pincang.

"Kaki lo udah gak pincang?” Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Udah enggak, sakitnya udah tinggal dikit banget malah kadang gak berasa.” Gadis itu mengangkat kakinya, menunjukkan pergerakan pergelangan kakinya yang mulai leluasa.

“Baguslah kalau gitu, maaf waktu kemarin gak nolongin lo, dan malah nyuruh orang lain buat bantuin lo.” Ian menatap Zini lekat, benar-benar meminta maaf.

“Orang lain yang lo sebut itu orang yang gue harapkan, makasih banget karena ngasih kesempatan buat gue berduaan sama Aji, lo emang sahabat gue yang paling baik." Zini antusias menceritakan perasaannya.

"Jadi lo seneng gue gak ada di situ?" tanya Ian dengan tatapan menajam, jauh berbeda dari sebelumnya.

"Iya, karena gak ada lo gue bisa ngobrol sama Aji, terus pas keluar dari UKS juga gue bareng dia jagain stan klub mading, berkat lo juga gue dianterin pulang sama Aji." Ian mengalihkan pandangan dari binar mata Zini yang begitu bahagia atas ketidakhadiran dirinya. Tanpa sadar ia menggigit kuat gigi-giginya. Jemarinya pun ikut kaku sebagai respon dari perasaannya saat ini.

"Yan, lo mau bantuin gue supaya makin dekat sama Aji, kan?" Jemarinya yang kaku seketika lemas kala jemari Zini menyentuhnya, menggenggam erat dengan permintaan yang rasanya tak ingin dia kabulkan.

"Mau ya, mau dong, please!" Mau tak mau Ian menganggukkan kepala, meski rasanya sakit, tetapi tak apa. Asal Zini bahagia, Ian pun bahagia.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang