Mulai hari ini dan seterusnya Zini akan lebih sering bertemu dengan Ian. Sebenarnya mulai kemarin, sejak sang ayah pulang ke rumah, laki-laki itu diungsikan ke rumah Zini dan nenek. Demi kelangsungan hidup Ian hal itu harus dilakukan, karena ayahnya yang hobi mabuk dan pilih kasih itu tak pernah suka melihat keberadaan Ian di rumah mereka. Zini tak pernah tahu alasannya, Ian hanya bilang bahwa itu karena kejiwaan ayahnya terganggu sejak mereka bangkrut. Beruntung ayah Ian jarang pulang ke rumah, jadi laki-laki itu tak perlu sering mengungsi.
Jika kemarin hari yang paling menyenangkan, maka hari ini Zini akan melakukan gebrakan. Walau apa pun yang terjadi ia akan melakukan hal yang selama ini sangat ingin ia lakukan dan setelahnya dapat dipastikan bahwa ia akan jadi gadis paling bahagia di dunia. Zini tak sabar untuk segera menghakhiri jam sekolah hari ini, meski sekarang baru selesai istirahat pertama dan Zini sedang dalam perjalanan ke kelas.
Selagi berjalan di koridor ini banyak sekali wajah-wajah tak mengenakkan dipandang mata berkeliaran, salah satunya adalah gadis yang waktu itu pernah mengerjainya dengan sabun pel. Dia tampak ragu-ragu berjalan ke arah Zini, entah apa yang ada di pikirannya.
"Zz-zini," panggilnya yang terdengar seperti cicitan saking kecil suara itu.
"Apa? Setelah apa yang udah lo lakuin sama gue, masih punya nyali muncul di depan gue?" tanya Zini sinis, tak lupa dengan dagu sedikit naik. Gadis ini sebenarnya sempat jadi teman dekatnya juga karena senasib sebagai korban bully Tara.
"Jangan nerima tantangan Tara! Me-mereka sengaja mau jebak kamu," ujarnya terbata, tampak tangannya meremat rok di sisi kanan dan kiri. Gadis itu tampak gugup dan semakin terlihat cupu di mata Zini.
"Jangan pikir gue sama kaya elo! Ngumpet dari masalah dan milih buat nyerah." Zini mendekatkan mulutnya pada telinga gadis itu. "Gue bukan cewek lemah yang bisa dihina-hina kaya lo! Dan lo, gak ada hak untuk ngalarang gue!"
Zini berlalu dari sana setelah mendorong kening gadis itu ke belakang. Meski sedikit terjengkal mundur gadis lemah itu tak sampai terjatuh. Sambil menyeringai puas Zini berjalan dengan gaya punggung tegap seraya melenggak-lenggok. Kali ini ia bisa mengontrol cara jalannya agar terlihat anggun secara natural.
...
Bel pulang benar-benar telah berbunyi, dan sekarang Zini sedang berada di taman sekolah yang terletak dekat lapangan voli di samping gedung kelasnya. Duduk di salah satu bangku sembari mengatur napas, mencoba rileks sembari memandangi bunga-bunga kertas yang mulai bermekaran. Persis seperti bunga-bunga di hatinya.
"Udah nunggu lama?" tanya seseorang yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Dia mengambil tempat tepat di samping Zini.
"Emm, enggak kok." Zini bergeser, mempertipis jarak antara ia dan laki-laki itu. "Aji," panggilnya.
"Iya, mau ngomongin apa? Gak biasanya ngajak ketemu pas udah pulang sekolah." Laki-laki itu menyibak rambut ke atas lalu menopang kedua lengan di atas paha dengan tubuh condong ke depan.
Ya tuhan, ganteng banget!
"Emm, lo beneran belum punya pacar?" tanya Zini berusaha sebisa mungkin terlihat santai dan tidak gugup, walau desir darah yang cepat membuat tubuhnya terasa lebih panas dan sedikit gemetaran.
"Iya. Kenapa, lo denger gosip lain tentang gue?" Aji sekarang menoleh memandangi Zini yang hanya beberapa senti dari wajahnya.
"Enggak." Zini menggeleng sembari mengatur napasnya. "Aku cuma mau bilang kalau aku suka kamu, Aji."
Zini menggigit bawah bibir, ada rasa lega setelah mengucapkan kalimat itu. Meski rasa takut akan sesuatu yang terus menghantuinya juga semakin terasa nyata melihat bagaimana respon tubuh Aji mendengar ungkapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...