Zini berdiri dari kursi rias di kamarnya. Entah mimpi apa ia semalam, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan segera menyulap meja belajarnya menjadi meja rias dengan memindahkan meja itu menghadap ke dinding. Cermin yang sebelumnya ia gantung di dinding setara kepalanya kini dipindahkan ke dinding depan meja. Segala peralatan make up diatur sedemikian rupa di atas meja tersebut. Buku-buku yang sebelumnya ada di atas meja ia pindahkan ke dalam kotak kardus lalu diletakkan di bawah meja.
Dengan penuh gaya ia mengambil parfum lalu menyemprotkannya ke pergelangan tangan, leher dan sedikit di bajunya. Senyuman mengembang di wajah cantiknya.
“Cermin kaca burik, siapa gadis tercantik di SMA Nusantara?” katanya sembari menatap cermin di depan, jemarinya menyelipkan rambut di balik telinga dengan gerakan lambat sembari menyipitkan mata, masih menatap cermin.
“Tentu saja, gadis yang paling cantik di SMA Nusantara adalah tuan putri Zini Zahira.”
Gadis itu menjawab sendiri pertanyaannya, lalu tertawa kecil sembari menutup mulut dengan ujung jemari dengan manja. Ia mengambil tas yang terletak di sudut kasur, lalu keluar kamar.
“Hei, mau kemana? Gak makan dulu?” tanya nenek saat gadis itu malah langsung meraih kenop pintu untuk keluar.
“Enggak Nek, Zini mau langsung berangkat aja, dadah.”
“Heii!” Zini menutup telinga mendengar teriakan nenek yang membahana. Wanita tua itu energinya memang beda dari orang tua biasa.
Sang cucu berbalik arah ke neneknya dengan dahi berkerut, aneh saja melihat kelakuan neneknya.
“Salim dulu!” nenek mengulurkan tangan, buat Zini menyengir. Gadis itu mengerti kesalahannya, maka ia segera menyalami neneknya.
“Ah, cucu nenek makin cantik aja!” Zini hanya tersenyum membalasnya lalu mengucapkan salam dan keluar dari rumah.
Kepalanya ditegakkan ke depan dengan badan tegap dan sedikit melenggak-lenggokkan pinggul gadis itu berjalan menuju rumah Ian. Rambutnya bergoyang seiring langkah kakinya. Sembari bersenandung riang ia pun mengibas manja rambutnya ke belakang sembari menatap lurus Ian di depannya dengan senyum anggun yang terkesan dibuat-buat. Laki-laki yang baru saja mengeluarkan motornya itu hanya melebarkan mata dengan ekspresi aneh.
“Selamat pagi, Ian.” Tak hanya tersenyum anggun, gadis itu juga sedikit memiringkan kepalanya menatap Ian yang balas menatapnya cengo.
“Lo kesambet apaan?” tanya laki-laki itu setelah beberapa detik dibuat bengong akan keanehan di depan matanya.
“Kok, ngomongnya begitu?” Zini menarik maju bibirnya, kesal. “Gue tersinggung, loh.”
“Jangan aneh-aneh deh, Zi, balik ke penampilan biasa aja. Kan, gue udah bilang lo cukup jadi diri lo sendiri!” Ian menegaskan.
Zini mengamati diri sendiri, mulai dari kakinya yang sekarang dilindungi sepatu baru dengan model lebih girly, dulu sepatunya biasa saja dengan model unisex. Berlanjut ke kaus kaki panjang baru, lalu rok yang sekarang lebih pendek, tetapi percayalah ini tidak lebih pendek dari standar yang sekolah tetapkan.
Selanjutnya kameja yang lebih rapi dari biasa. Ia juga sekarang memakai gelang sebagai aksesoris dan tentunya cincin kesayangannya tak boleh tertinggal.
“Apanya yang aneh? Orang cantik gini kok,” protes Zini menatap Ian sengit, sembari mengibaskan rambut yang baru dipotong sebahu dengan model bob.
“Iya, cantik. Gak nyangka ternyata lo bisa kelihatan manis juga." Ian mengamati model rambut baru Zini takjub, lalu membalas dengan tak kalah sengit. "Tapi jalannya gak gitu juga, kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...