Zini merebahkan kepala pada lipatan tangan di atas meja sembari mengembuskan napas panjang. Gadis itu tak melakukan apa-apa sebab punggungnya masih terasa nyeri.
Di ruang kelas hanya tersisa beberapa siswi yang sedang asyik mengobrol dan beberapa lainnya asyik sendiri. Jam istirahat kedua begini tidak banyak siswa yang ke kantin. Beberapa memilih hanya tinggal di kelas atau sekadar mengobrol di depan kelas. Zini salah satunya, memilih berada di kelas saja saat jam istirahat kedua. Biasanya ia akan mengobrol banyak hal bersama Lula, tetapi Lula lebih memilih ke kantin sendiri.
Suara riuh dari luar menarik perhatian. Nama yang selanjutnya diteriakkan membuat Zini mulai beranjak dari tempatnya.
“Aji, Aji, Aji!” teriak beberapa siswi di tepi lapangan di bawah sana.
Zini tak sadar ikut meneriakkan nama itu dalam hati lalu menyembulkan kepala keluar jendela lorong yang besar untuk melihat ke bawah sana. Seorang laki-laki yang jadi pusat perhatian sedang menggocek bola ke sana kemari, mengadang pertahanan lawan hingga ke depan gawang.
“Goal!” Zini berteriak bersama siswa lain yang juga ikut menyaksikan dari tempat yang sama.
“Aji main bola, woyy!” teriak seorang siswi diikuti beberapa lainnya, mereka mulai berlari keluar gedung sekolah menuju lapangan.
“Yang bener? Udah lama loh dia gak main bola lagi,” sahut yang lainnya. "Striker jagoan gue tuh waktu turnamen kelas satu dulu main bola lagi?"
"Iya, gue juga seneng akhirnya dia balik lagi setelah lama vakum karena cedera."
Mereka semua telah menuruni tangga. Zini sendirian di jendela koridor, makin takjub saja setelah mendengar fakta bahwa sang pujaan ternyata sekeren itu. Pandangannya tak lepas dari laki-laki yang mampu membuat degup jantungnya menggila sejak tadi.
Tepi lapangan mulai dikerubungi oleh banyak siswa dan siswi yang bersorak memberi semangat. Aji tampak menoleh ke kanan dan ke kiri tak nyaman, tetapi tetap terus fokus pada bola yang sedang digiring oleh teman setimnya.
“Ya ampun. Rambut basahnya bikin tambah ganteng!” seru Zini sembari meremat bingkai jendela koridor gemas.
“Untung gue gak rabun, jadi masih bisa menikmati wajah tampan Aji walaupun dari jauh.” Zini berujar sembari senyum-senyum sendiri.
Gadis itu kemudian menoleh, menyapu pandangan ke sekitar lorong yang lumayan sepi, takut-takut kalau ada yang memergokinya. Bisa malu setengah mati dia.
“Mungkin gak, ya, Aji ngelirik ke sini?” Pertanyaan itu terdengar seperti harapan.
Bel berbunyi nyaring pertanda istirahat telah berakhir. Zini dan siswa lain yang menonton permainan sepak bola Aji mengerang kecewa bersamaan. Mereka mulai membubarkan diri dari tepi lapangan. Aji yang berada di tengah-tengah lapangan tanpa aba-aba menoleh ke atas bertepatan arah Zini yang tengah mengamatinya dari jendela. Dua mata itu tanpa menduga saling bersitatap meski dari jarak jauh. Aji tersenyum lalu mengalihkan tatapannya.
“Aaa, dia ngelirik gue!” Zini berteriak sembari membalik badannya, lalu bersandar pada dinding di samping jendela. Sambil senyum malu-malu ia merosot dramatis di dinding tersebut.
Hingga suara riuh dari arah tangga membuatnya diam di tempat, siswa-siswi yang tadi di lapangan akan kembali ke kelas dan dipastikan mereka akan melewatinya. Malu juga kalau nanti dia ketahuan heboh sendiri. Bisa-bisa Zini disangka gila, walaupun memang, gadis itu sudah gila oleh perasaan yang dia sebut suka.
…
Zini menguap berkali-kali, menyeka air mata yang keluar sembari terus merebahkan kepala di lipatan tangan. Lalu sedikit menyingkirkan buku tipis yang ia gunakan untuk menghalangi cahaya mentari yang lantang dari jendela. Tampak tiga buku menumpuk di samping kepalanya, sebelumnya hanya ada satu buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...