“Bu-buat apa, Nek?” Zini menyeringai mencoba menyembunyikan kepanikan.
“Nenek mau lihat, coba lepas dulu!” pinta nenek langsung menarik tangan Zini, berusaha melepaskan cincin itu dari jari manis cucunya.
“Nek, jangan diambil!” Zini menarik paksa tangannya dari Nenek sembari menjauh, tetapi tak sanggup juga melepaskan diri dari cekalan tangan Nenek.
“Kok panik gitu?”
“Kaget Nek, bukan panik!” jawab Zini sekenanya, sembari terus mendorong tangan Nenek yang ingin melepaskan cincin itu dari jemarinya.
“Buka du….” Nenek terkejut menatap tanpa berkedip ke wajah cucunya. Keterkejutan yang selanjutnya berganti menjadi amarah. Masih mempertanyakan dalam hati tentang kenyataan yang harus diterima. Mimpi ataukah nyata?
“Benda ini alasan kenapa kamu bisa jadi cantik secara instan? Bukan make up?”
Rasanya jantung Zini berhenti berdetak kala cincin tersebut lepas dari jarinya. Energinya terasa direnggut paksa, mukanya pucat seketika dengan tangan yang selanjutnya gemetar ketakutan.
“Nek, balikin cincinya!” pinta Zini dengan suara bergetar. Ketakutannya selama ini menjadi kenyataan, semoga Zini bisa meyakinkan Nenek agar mengizinkannya menggunakan benda ajaib itu selamanya. Ya, Zini pasti bisa. Nenek menginginkan kebahagiannya, tentu wanita itu akan mengizinkannya, kan?
“Gak bisa!” Nenek menggeleng, menyembunyikan tangannya ke belakang badan. “Nenek gak bisa biarin kamu pakai benda beginian. Gak bisa!”
“Balikin, Nek! Itu punya aku, bukan punya Nenek!” teriak Zini menerjang ke arah neneknya, meraih tangan yang menggenggam cincin ajaib kesayangannya. “Balikin, Nek!”
“Zini!” Nenek ikut membentak membuat Zini berjengit terkejut lalu mundur selangkah. “Sesuatu yang instan tidak pernah benar-benar instan, selalu ada konsekuensi di sana!” jelas Nenek mencoba menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Zini terlalu beresiko.
Bukannya mencoba mengerti, Zini malah tertawa mengejek membuat Nenek menatapnya terkejut. “Gak nyangka ternyata Nenek juga iri sama kecantikan Zini. Nenek mau ambil cincin ini supaya jadi cantik juga, kan?”
“Cincin ini berbahaya, Zini! Kamu gak tau apa yang akan terjadi dengan dirimu kalau terus menggunakannya,” jelas Nenek menurunkan nada suara agar Zini paham maksudnya.
“Bilang aja Nenek ambil cincin itu dari Zini buat Nenek! Pake alasan segala kalau cincin itu berbahaya.” Gadis itu seperti tak sadar telah mengatakan kalimat kasar pada Nenek sendiri. Zini tengah dikuasai amarahnya. “Balikin cepet! Itu punya gue!”
Nenek mengadu gigi sembari menahan amarah, dadanya kembang kempis dengan napas cepat yang coba ditenangkannya. Wanita setengah abad lebih itu terus mencoba mengendalikan diri agar tak melewati batas karena hal itu hanya akan memancing segala macam penyakitnya keluar dari sarangnya.
“Untuk sementara cincin ini Nenek sita dari kamu. Ingat, ini demi kebaikan kamu, Zini!” Nenek berbalik, pergi dari depan Zini.
Brakk
Zini berlari menerjang ke arah neneknya hingga keduanya jatuh bersamaan. Ia masih mengincar cincin di tangan neneknya, benda itu tak boleh jatuh ke tangan siapa pun selain dirinya. Zini tak akan membiarkan siapa pun merampas miliknya, Zini akan mempertahankannya. Meski itu berarti ia harus bertarung dengan neneknya sendiri.
“Balikin cincinnya!”
Jika Zini punya kekuatan karena tubuhnya yang masih bugar, Nenek punya reflek yang bagus karena pengalamannya. Tak membiarkan Zini terus mengincar cincin itu bak orang kesurupan, Nenek segera melumpuhkan gerakan sang cucu dengan memelintir tangan Zini ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...