Bab 1

83 27 13
                                    

Langkah demi langkah ditapaki dengan tetap mempertahankan senyum di bibir. Meski tak akan menambahkan kesan indah setidaknya itu bisa membuatnya tampak baik-baik saja walaupun nyatanya tidak demikian. Kini aroma kuah bakso dan harum seblak andalan kantin mengusik penciumannya. Kantin memang paling bisa mengajak setiap orang untuk betah berada di sana dengan berbagai macam makanan. Dia jadi ingin duduk di sana sembari menikmati menu kantin. Tak terasa senyumnya semakin merekah.

Bisik-bisik suara sumbang mengusik rungu kala tatapannya bertemu dengan orang yang tak seharusnya, itu buat senyumnya luntur seketika. Dia menyebut mereka yang tak bisa diam melihat tampangnya tanpa ikut komentar padahal tak diminta dengan sebutan 'fans'. Begitulah risiko punya banyak fans, selalu jadi bahan perbincangan. Hal inilah yang membuatnya tak bisa berlama-lama di kantin. Dia tak tahan dengan ocehan fans-nya yang tak bisa diam. Terlalu nyelekit, bak ditusuk jarum tepat di hati, perih.

"Jelek, kan?" tanya seorang siswi pada teman di depannya, meja mereka yang barusan Zini lewati.

"Wah, dia benar-benar jelek. Item, buluk, jerawatan jadi satu paket komplit. Gak pernah kepikiran gue ada orang sejelek itu, mana kurus banget lagi kaya tengkorak hidup," sahut yang di seberang meja lalu keduanya sama-sama tertawa.

"Hmm, nambah lagi fans gue," bisik Zini pada dirinya sendiri dengan getir.

Mau tak mau ia harus kembali menutup telinga, pura-pura tak mendengar dan bersikap biasa saja. Ia tak bisa untuk membungkam satu per satu mulut mereka yang membicarakannya. Jika dipikir kembali tak ada yang salah dari semua ucapan mereka, Zini memang jelek.

Harusnya ia sedikit bangga karena menjadi pemecah rekor siswi paling jelek di sekolah ini. Ah, bangga tak pernah masuk dalam kamus hidupnya. Bahkan, untuk percaya diri rasanya sangat susah. Ke kantin seperti ini saja sudah sangat menguras tenaga baginya, apalah daya menolak permintaan sahabat sangat sulit bagi Zini.

"La, ini susu cokelat, roti sama biskuit pesanan kamu," katanya setelah masuk ke kelas dengan tulisan XI IPA 3 di depan pintu, itu kelasnya. Kemudian meletakkan kresek plastik di atas meja Lula. Satu-satunya teman yang mau makan bersamanya di kelas ini.

"Lama banget! Besok gue mau makan di kantin aja deh, lo kalau beli makanan baliknya lama." Lula melepas earphone dari telinganya, lalu mengobrak-abrik isi kresek plastik, mengeluarkan susu cokelat yang langsung ia sedot.

"Ja-jangan, La. Ntar gue gak ada temen dong!" rengek Zini sembari mengguncang bahu Lula berharap temannya itu hanya becanda.

"Bodo amat!" Lula tak peduli, tangannya membuka bungkusan roti lalu melahapnya tenang. Sementara di sampingnya Zini kalang-kabut sebab ucapannya barusan.

"Jangan ngambek dong!" bujuk Zini sekali lagi.

"Satu syarat!" ucap Lula di tengah kunyahan rotinya.

"Apa? Apa pun itu!" Zini antusias.

"Kamu harus jadi perwakilan kelas untuk lomba modeling besok!" Lula kali ini memperhatikan benar Zini yang tampak makin gelisah. Tangannya tak henti-henti saling meremat sesekali juga memainkan ujung dasi yang panjang.

"Tuh, kan, kamu gak mau," desah Lula kecewa.

"Ya, masa orang jelek disuruh ikut lomba modeling, bisa-bisa diketawain satu sekolahan aku," cicit Zini lesu.

"Ini ajang buat kamu bungkam mulut mereka yang sering ngatain kamu. Mumpung gak ada yang daftar lomba modeling dari kelas kita. Mau, ya!" Lula kini memasang tampang melasnya.

"Belum ada yang daftar? Tara gak daftar?" Ia menyebut si cantik yang selalu dipuji-puji itu, si cantik yang juga sering menghinanya.

"Dia panitianya, jadi gak boleh ikutan."

Zini kembali diam tak berkomentar apapun. Dia tak punya rasa percaya diri untuk tampil di depan umum seperti itu.

"Kamu diam berarti setuju, ya, tenang aja Ziniku. Kamu itu sebenernya cantik kalau dipoles make up." Kali ini Lula bahkan menghadapnya sambil menatap Zini dengan mata berharap penuh buatnya tak tega menolak niat baik sang sahabat.

Tak terasa bel kini berbunyi nyaring, tak lama lagi kelas akan penuh kembali dan Lula pasti akan memberitakan ini pada penghuni kelas. Zini sedari tadi diam saja memikirkan bagaimana reaksi mereka kalau ia akan jadi perwakilan kelas dalam lomba modeling.

"Temen-temen, boleh minta perhatiannya!" Sekali intrupsi dari Lula membuat satu kelas hening seketika.

"Gue mau bilang, kalau Zini daftar jadi perwakilan kelas untuk lomba modeling boleh, kan?" tanya Lula pada seisi kelas.

"Emang sampai sekarang belum ada yang daftar, La?" Tara yang duduk di sudut ruangan sambil memegang cermin kecil menyeletuk. Lula sekretaris di kelas mereka, jadi ia tahu mengenai hal itu.

"Belum, makanya dari pada gak ngirim perwakilan lebih baik Zini, kan?"

"Woy, lo cewek-cewek semua pada kalah sama Zini! Dia nyelametin kelas kita, gue denger kalau gak ngirim perwakilan ada dendanya!" Seorang cowok dari sudut ruangan di samping Tara berseru lantang.

"Maju terus Zini, pantang mundur!" teriaknya sembari mengangkat kepalan tangan.

Zini tiba-tiba merasa terharu dengan dukungan tersebut, akan tetapi ia masih tak yakin bisa menjadi perwakilan kelasnya dalam lomba itu. Takut malu-maluin. Maka dengan keberanian ia berdiri di tempatnya, atensi teralih padanya.

"Maaf, nih. Teman-teman, tapi apa nanti gak malu-maluin kelas kalau aku yang ikut modeling, kan, aku jelek," katanya kemudian.

"Lo kurus, lumayan tinggi, kaki juga gue liat gak ada bekas luka atau korengan, kalau masalah wajah lo jangan khawatir. Gue biasa make up-in orang dan hasilnya bagus, lo bisa percaya sama gue." Seorang gadis yang terkenal suka make up itu maju meyakinkan Zini.

Kali ini gadis itu menghampiri ke meja Zini sembari bertanya, "Lo pernah di-make up-in sebelumnya?"
Zini menggeleng buatnya menjentikkan jemari sembari tersenyum.

"Pantes, muka kaya lo ini dibedakin dikit aja pasti kelihatan beda banget. Percaya sama gue lo gak jelek, cuma butuh sentuhan make up dikit aja supaya cantiknya keluar," ujarnya lagi buat Zini malu. Jadi sebenarnya ia hanya kurang make up, selama ini dia terlalu jauh berpikir hingga pernah terlintas di benaknya untuk operasi plastik agar tampil cantik.

"Jadi kalian setuju kalau Zini jadi perwakilan kelas kita?" Lula kembali bertanya dari depan.

"Gak ada alasan buat nolak!" Gadis yang tadi memuji Zini berujar keras sementara siswa lain hanya mengangguk setuju.

"Oke, kalau gitu, kita langsung persiapan nanti, ya, karena besok udah hari H." Lula mengakhiri. Ia kembali ke kursinya di sebelah kursi Zini.

"Lihat, kan, mereka nerima kamu bahkan mau bantu. Ini saatnya kamu asah percaya diri kamu sekalian tunjukin sisi diri kamu yang beda. Percaya sama aku!"

Zini sudah tak tahu lagi mau bersikap bagaimana. Berprasangka buruk takut dosa, berharap takut kecewa. Yang jelas sekarang ia hanya percaya pada Lula.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang