“Kalau jalan hati-hati dong! Punya mata, tuh, dipake!” sentak gadis itu dengan ekspresi terkejutnya.
“Sorry, gue gak sengaja,” ujar Zini menangkup tangan di depan dada. Namun, saat ia akan melewati Tara untuk keluar kelas, gadis itu tanpa aba-aba menarik paksa maskernya.
“Lo, dandan?” tanya gadis itu dengan nada mengejek, sementara Zini hanya menunduk ketakutan. Hal itu membuat Tara merasa menang dan semakin bersikap seenaknya. Dibuangnya masker Zini ke dalam tong sampah lalu berkata, “Heh jelek, lo itu mau pake make up sebagus apapun bakalan tetep jelek!”
Sakit hati Zini, kalimat itu terlalu perih untuk didengar oleh telinganya. Maka ia mengambil langkah untuk keluar dari kelas. Namun, tepat saat keluar kelas kakinya ditendang hingga bahu dan kening sebelah kanannya menabrak bingkai pintu lalu jatuh terjerembab di lantai tepat di depan pintu kelas. Tara hanya menoleh sekilas, meletakkan tasnya di meja paling depan lalu pergi begitu saja meninggalkan Zini.
Masih dengan posisi duduk di depan pintu kelas sambil mengelusi bahunya Zini tiba-tiba mendengar langkah kaki mendekat diikuti kalimat yang terlontar, “Hei, lo gak papa?”
“Gak papa,” jawab Zini tanpa minat menatap orang yang bertanya keadaannya. Sesaat kemudian segalanya terasa berhenti ketika tiba-tiba ia merasa seperti pernah mendengar suara itu.
Segera Zini mendongak menandangi laki-laki yang kini menunduk hingga tatapan kedua mata itu bertemu dan debaran menggila selanjutnya mengambil alih tubuh Zini. Entah ke mana rasa sakit di kening dan bahu telah pergi, yang jelas sekarang panas dingin terasa setelah tatapan itu dialihkan.
“Baguslah kalau gak papa, baris cepat ke lapangan!” perintahnya lalu menoleh ke kanan dan kiri seperti mencari seseorang, kemudian berlalu pergi.
Bodoh! Harusnya bilang saja sakit di sana-sini, supaya dibopong ke ruang UKS. Sekarang kesempatan itu terbuang sia-sia. Dasar Zini bodoh.
Geregetan ingin berjalan bersama laki-laki itu, Zini segera bangun, tetapi saat ia bertumpu pada kaki kirinya tubuhnya kemudian limbung hingga jatuh kembali. Pergelangan kaki kirinya terasa sakit saat menopang tubuh. Laki-laki yang tadinya sudah berjalan di depan berbalik arah, dia kembali.
“Katanya gak papa, tapi pas berdiri malah jatuh lagi,” komentarnya sembari membantu Zini berdiri, membawanya ke salah satu kursi di depan kelas. Zini masih diam, menyembunyikan gejolak yang tak bisa diam dalam hatinya. Ini namanya realita yang semanis ekspektasi. Jujur saja, sebenarnya kaki Zini tidak sesakit itu.
“Kaki lo keseleo?” tanya si laki-laki setelah mereka duduk.
“Gak tau, pergelangan kaki gue sakit.” Zini hanya menjawab seadanya, masih belum percaya bisa sedekat ini dengan laki-laki itu.
“Sini, gue liatin,” katanya seraya berjongkok di depan Zini, perlahan melepas sepatu gadis itu.
“Woy, sakit! Pelan-pelan dong!” jerit Zini tiba-tiba.
“Iya, sabar. Ini juga udah pelan kok,” katanya lalu membuka kaos yang Zini kenakan dengan lembut. Beruntung kaos itu baru dipakai hari ini, jika tidak, bisa malu dia kalau tercium bau tak sedap.
“Pergelangan kaki lo memar sama bengkak, itu yang bikin sakit,” jelasnya kemudian.
“Diapain, biar gak sakit?” tanya Zini, puas menatap dari dekat wajah tampan cowok di depannya.
“Dikompres sama istirahat, kaki lo gak bisa terlalu banyak gerak kalau masih sakit.” Cowok itu kemudian memandang celingukan ke koridor yang sudah sangat sunyi. Suara Pak Salman yang sedang memberi arahan di lapangan terdengar sampai ke gedung kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...