Sudah setengah jam berlalu, tetapi gadis yang berdiri di depan sebuah lemari kaca yang menyimpan banyak barang kuno itu masih belum beranjak dari tempatnya. Matanya menelisik rak-rak lemari mencari bagian mana yang sekiranya kosong. Telunjuknya terus menyusuri titik demi titik untuk menemukan tempat kosong itu.Di tangannya masih ada bola kecil mengkilap berwarna emas. Saat bangun dari pingsannya, ia langsung memeriksa dua rak dan satu lemari koleksi barang kuno neneknya untuk mengembalikan bola ini ke posisi semula. Dia masih tak percaya kalau wajahnya menjadi cantik dan menganggap itu hanya halusinasi.
“Ayo dong, kasih tau gue sebelum lo jatuh lo itu posisinya di mana? Bisa dipecat gue jadi cucu Nenek kalau dia tau lo jatuh gara-gara gue.”
Matanya mengamati bola kecil itu. Bertanya seolah akan mendapat jawaban.
“Atau jangan-jangan lo emang bukan dari salah satu rak koleksi barang kuno Nenek?” Gadis itu tersenyum merekah, sudah gila agaknya. “Kalau gitu, kan, gue gak perlu balikin lo ke tempat itu, tinggal aja bareng gue!” katanya seraya mengelus lembut bola kecil itu.
“Eh, tapi gue ngarep lo bisa buat gue jadi cantik dan yang tadi itu bukan bagian dari halu gue.” Masih bicara pada bola di tangannya Zini beranjak ke kamarnya kembali. Menggeser kursi di depan meja belajarnya, lalu meraih cermin segi empat dari dalam laci, memposisikannya agar menampilkan keseluruhan wajahnya. Gadis itu mulai membuka kembali diameter bola kecil di tangannya. Mengambil dengan hati-hati cincin bermata merah menyala dengan bingkai matahari yang indah.
Tepat saat ia memasangkan cincin itu ke jarinya perlahan wajahnya berubah jadi mulus tanpa jerawat begitu pun bekasnya. Bulu matanya terlihat lebih lentik dan alisnya lebih hitam, tetapi tak sama sekali terlihat berlebihan. Mata yang biasanya berkantong itu tampak segar. Sungguh ini yang Zini inginkan, penampilan seperti ini yang Zini inginkan sedari dulu.
Tangannya tanpa sadar telah meraba-raba wajah yang ia kagumi itu dengan sengaja ia suruh mencubit pipi. Sebenarnya tak tega mencubit pipi cantik nan mulus ini, tetapi Zini harus melakukannya agar kesadarannya bisa kembali ke dunia nyata, jika ini halusinasi. Rasa sakit yang ia rasakan selanjutnya membuat gadis itu sedikit terlonjak. Ini bukan halusinasi apalagi mimpi, hal ini nyata.
“Aaaa …,” teriaknya melengking. Ia sudah berdiri, kini matanya menatap poster sang idola dengan wajah manis sekaligus menggemaskan.
“Oppa, selama ini aku udah bersyukur dengan apa yang aku punya, walaupun kadang ngeluh juga sama ocehan mereka tapi aku kuat! Ini pasti balasannya, kan? Ini balasan buat kebaikan aku, kan?” ujarnya sembari berkedip-kedip dramatis. Zini melompat-lompat di atas kasurnya, tempat dimana ia dengan mudah menatap poster sang idola. Matanya berkaca-kaca, gadis itu bahagia mendapatkan wajah yang diinginkannya.
“Oppa, ini bukan mimpi, kan?” lompatannya terhenti, ia turun ke bawah, kasur single size itu mengerang terus sebab lompatannya.
“Kalaupun ini mimpi, aku gak mau bangun!” katanya meraih boneka kepala anjing manis di sudut kasur, dekat tumpukan bantal dan guling miliknya, memeluk erat sembari mengulum senyum.
…
Dalam ruangan yang telah harum dengan wangi parfum itu seorang gadis tengah menatap wajahnya sendiri di depan cermin agak besar yang ditempel di dinding. Dulu ia sangat benci cermin karena selalu menunjukkan kekurangannya yang selalu jadi bahan ocehan orang-orang. Wajah yang katanya jelek sebab bekas jerawat menghitam serta komedo yang banyak muncul berkolaborasi dengan warna kulit kusamnya itu membuat mereka tak pernah kehabisan kata-kata hinaan.
Hal yang berbeda terjadi pagi ini, sejak bersiap untuk pergi ke sekolah Zini telah menggunakan cincin indah itu sehingga wajah cantiknya yang muncul di cermin. Zini betah menatap wajah cantik itu, masih tak percaya dengan apa yang terjadi, tetapi ia benar-benar senang takdir seperti ini menghampirinya. Zini sudah selesai sarapan dan persiapan lain. Hanya tinggal menunggu Ian datang menjemput dan berangkat bersama ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...