Pagi sekali, Zini sudah sampai di sekolah bersama Ian. Dari gerbang sekolah, ia berjalan sendiri menuju pintu masuk. Perhatian gadis itu sepenuhnya berada pada ponsel di tangannya, hanya sesekali ia memandangi jalan di depannya. Suasana koridor yang masih sepi dengan hanya beberapa orang di sana membuatnya kurang waspada hingga menabrak salah satu siswi yang sedang membawa beberapa buku.
"Aduh." Keduanya sama-sama mengaduh terkejut mendapati satu sama lain bertabrakan.
"Heh cupu! Kalau jalan liat-liat dong!" sentak Zini di depan gadis yang tampak menatapnya marah pula. Alis keduanya sama-sama menyatu dengan mata yang melotot.
"Lo yang gak liat jalan!" Suara gadis itu terdengar seperti cicitan, tatapannya ia alihkan pada buku-buku yang berserakan.
"Jelas-jelas lo yang nabrak gue! Gue jalannya nyantai kali. Gak kaya elo yang jalannya kaya orang dikejar setan," semprot Zini berang dengan dada kembang kempis. Beberapa siswa yang lewat di koridor tampak memerhatikan mereka sambil berlalu.
"Okelah, gue minta maaf kalau gitu." Ekspresi gadis itu berubah santai, seolah tak terjadi apa pun. "Gue ngalah karena lo temennya Ian," lanjut si gadis sambil memunguti buku-bukunya di lantai.
Zini mengernyit heran, memangnya kenapa kalau dia temannya Ian. Gadis gila itu yang salah, malah berkata seolah dia yang benar dan mengalah hanya karena Zini teman Ian.
"Karena gue buru-buru, jadi semoga nanti kita ketemu lagi," katanya seraya meninggalkan Zini.
Brakk
Zini sengaja menjulurkan kakinya menyandung kaki si gadis gila hingga gadis itu jatuh dengan buku-buku yang kembali berserakan. Ini kesempatan bagus untuk menunjukkan pada semua orang bahwa Zini tak lagi diam ketika ada yang mengusiknya. Dengan gerakan santai Zini melipat kedua tangan di depan dada seraya tersenyum mengejek.
"Maaf aja gak cukup untuk balikin mood gue yang udah lo ancurin!" bisik Zini sembari menunduk menatap gadis itu. "Tapi tenang aja, mood gue bakal balik kok, asal lo nerima satu lagi dari gue." Zini menarik sebelah ujung bibir ke atas dengan tatapan tajam, lalu menendang salah satu buku hingga menabrak paha si gadis yang masih terkejut diperlakukan seperti itu. Senyumnya mengembang sempurna saat tampak gadis itu kesakitan.
Namun, seketika senyumnya luntur saat seorang laki-laki tiba, membantu gadis gila itu berdiri dan membereskan buku-buku yang berserakan.
"Ana, lo gak papa? Gue bantuin, ya!"
Zini hanya menatap tak suka pada pemandangan di depannya, sungguh memuakkan. Laki-laki ini memang terlalu baik sampai jadi bodoh. Maka Zini mengambil langkah pergi dari sana dengan perasaan kesal.
"Hey, mau ke mana lo?" Ian menyentak tangan Zini kasar.
"Apaan, sih!" Zini berusaha melepaskan genggaman erat itu, tetapi tenaganya tak cukup kuat.
"Minta maaf, Zi! Minta maaf sama Ana!" Ian berujar sambil mempertahankan genggamannya di tangan Zini.
"Lepasin tangan gue dulu!" Tatapan marah Ian beradu dengan tatapan memohon Zini. "Sakit, Yan!"
Seketika genggaman itu dilepaskan. Tampak ruam kemerahan di dekat pergelangan tangan Zini yang membuat Ian tiba-tiba melangkah mendekat khawatir.
"Lo gak papa?" Tangannya terulur untuk memeriksa pergelangan tangan Zini, tetapi gadis itu menjauhkannya dengan tatapan kecewa.
"Gak usah dekat-dekat!" Zini melangkah mundur. "Gue gak salah! Buat apa minta maaf!?" tegasnya.
"Gue lihat, lo yang buat Ana jatuh dan nendang bukunya ke arah dia," jelas Ian baik-baik, lalu mengembuskan napas pelan, masih tak habis pikir dengan kelakuan Zini. "Lo kenapa, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Zini (END)
Teen FictionMenemukan perhiasan ajaib yang bisa membuat wajahmu menjadi cantik, mulus dan menawan. Anugerah ataukah kutukan? Zini Zahira, gadis dengan tingkat kepedean di bawah rata-rata, sering dibully dan selalu bersikap seolah baik-baik saja terhadap pembul...