Bab 14

19 10 0
                                    

Bel pulang telah lama berkumandang, lagi-lagi Zini harus menunggu Ian selesai mencari buku yang akan laki-laki itu pinjam di perpustakaan. Gadis itu mengekor saja di belakang Ian yang berjalan di lorong antar rak-rak perpustakaan sembari mengetik pesan di ponsel.

Zini baru punya nomor kontak Aji dan langsung saja chatting-an dengan laki-laki tersebut. Dia sangat antusias sampai senyum-senyum sendiri, bahkan bau buku lama yang sempat mengusik penciuman tak mengganggunya sedikit pun.

Ian menoleh sebentar ke belakang, mengamati Zini yang masih sibuk dengan ponselnya. “Kesandung tau rasa lo!” ujarnya tak suka, sementara Zini hanya mengangkat bahu tak peduli.

“Bukannya baru aja lo minjam dua buku dari perpustakaan?” tanya Zini.

“Yang lalu udah selesai gue baca.”

“Lo udah baca semuanya?” tanya Zini setengah menjerit, kali ini dia benar-benar memerhatikan Ian, bahkan sampai membalikkan badan laki-laki itu menghadapnya.

Laki-laki yang memang senang diperhatikan seperti itu menurut saja saat dua jari Zini mulai membuka kelopak mata Ian bak seorang dokter tengah memeriksa pasien. Namun, perasaannya berubah kala wajah gadis itu semakin dekat dengan wajahnya, hingga tampak sekali kulit wajah yang dulu kusam, berminyak dan jerawatan kini begitu bersih dan mulus. Ian merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya, seperti suara gendang yang ditabuh kuat-kuat hingga seluruh tubuhnya bergetar.

“Jangan-jangan, lo begadang?” Zini mundur selangkah seraya berkacak pinggang, menatap Ian marah dengan mata melebar. Jelas sekali kantong mata yang menghitam serta urat-uratnya yang memerah menandakan laki-laki itu memforsir kemampuan matanya.

“Harusnya lo gak perlu sampai begadang gitu buat belajar, Yan. Lagian dengan kemampuan lo, gak belajar seminggu pun peringkat lo gak bakalan tersingkir dari posisi pertama,” omel Zini sembari mengusap wajah frustasi.

Dia tak habis pikir, dengan otak yang kelewat pintar harusnya Ian memikirkan kesehatan, alih-alih memaksakan diri. Ah, laki-laki ini memang harus disemprot sekali-sekali.

Berbeda dengan ekspresi Zini yang stres berat, Ian di depannya malah menyengir seraya tertawa kecil. Baginya Zini seperti anak kecil menggemaskan yang sedang mengomel dengan mata yang membulat lucu.

“Gak usah ketawa! Gak ada yang lucu!” bentaknya lalu menarik napas panjang.

Dengan menajamkan mata menatap Ian, ia mengancam, “Kalau sampai GERD lo kambuh, gue gak mau bantuin lo!” Ucapan itu kembali membuat lengkungan di pipi Ian, lagi-lagi hatinya penuh dengan perasaan yang ia tak mengerti, tetapi Ian menikmatinya. Ia suka gadis itu begitu memperhatikannya.

“Asal lo selalu pantau gue, gue gak akan begadang lagi, kok,” ujar Ian enteng.

“Mulai sekarang lo gue pantau. Awas lo kalau begadang lagi!” Zini menyelesaikan ancamannya lalu segera menyimpan ponsel ke dalam tas. Saat itu pula, ia sadar ada barangnya yang tertinggal di kelas.

“Oh ya, botol minum gue tinggal di kelas, lo pinjam satu buku aja biar gak lama. Dari kelas nanti gue langsung ke gerbang. Ingat, jangan lama!”

“Iya-iya, gak akan lama,” aku Ian sembari tertawa kecil memandangi kepergian Zini.

“Terus perhatian sama gue, ya!”

Zini tiba di kelasnya yang kini sudah kosong, gadis itu menyapu pandangan ke setiap sudut kelas. Perasaan, ia sempat melihat seseorang tadi dari kejauhan sebelum memasuki kelas. Namun, sekarang saat sudah di dalam kelas malah tak ada siapa-siapa. Suasana sepi begini membuatnya was-was.

Extraordinary Zini (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang