1. Awal Dari Rakala

3K 177 1
                                    


Bau harum khas tanah basah usai hujan kini yang paling pertama menyambut Rakala saat membuka jendela. Hari Minggu, hari paling indah untuk menikmati waktu tampa tugas dan tulisan.

Menatap penuh pada matahari yang mulai naik, matahari yang sama dengan nama belakang sang kakak. Bagaskara.

"Mau ngapain ya?" monolognya.

"Kalau ada Abang, pasti nggak ngebosenin banget." Dan lagi, selalu kata itu yang terlontar.

Tian Bagaskara, memang sudah lima tahun terakhir menetap di kota penuh kata romantis, Paris Perancis.

Melanjutkan pendidikan di sana serta menjalani beberapa kegiatan yang lain.

"Abang nggak mau pulang ya?"

"Mau kok." Bias suara berat yang mengudara dari arah pintu masuk membuat sang empu kamar berbalik.

"Ayah."

Lantas Bapak Bagas mulai mendekat pada sang anak yang masih belum beranjak usai membuka jendela. Mengusap penuh kasih sayang surai hitam legam miliknya.

"Belum mandi nih, masih ileran."

"Mana ada, orang ganteng nggak pernah ileran."

"Masa sih, nah ini ada bekasnya." Tunjuk Ayah di dekat bibir Rakala. Masih setia menggoda sang anak yang padahal baru membuka mata.

Mencoba mengalihkan topik yang tadinya sendu kini mulai terasa hidup.

"Ayahhhhhh, nggak ada."

Tawa Bapak Bagas lantas mulai mengudara, tawa yang akan selalu jadi candu bagi pendengarnya. Dekat dengan Ayah bagi Rakala seperti dekat dengan Tian.

"Ya udah mandi sana nanti jalan-jalan." Ujarnya kemudian.

"Emang nggak kerja?" tanya Rakala.

Tidak aneh memang pertanyaan yang terlontar, Ayahnya ini orang sibuk soalnya, jadi tumben saja kali ini mengajak keluar.

"Masuk siang, jadi bisa dong mingguan sama bocil Ayah." Ucap Ayah mengusap gemas pipi sang anak.

Tidak bisa tidak ikut tersenyum, Rakala lantas mendekap erat daksa Ayah.

"Raka bukan bocil lagi."

"Bukan memang."

"Terus kenapa dibilang bocil?"

"Jokes, Raka." Celetuk Ayah, rada kesal sedikit anaknya ini agak lemot.

"Hhhh iya iya tau. Ah emosian banget ini tukang ketoprak." Cari mati memang si Raka.

Ayah yang mendengar itu hanya tersenyum puas melihat Rakala yang sudah ngibrit berlari keluar kamar.

Setidaknya anak bungsunya ini tidak lagi mempertanyakan soal kakaknya.

"Kapan pulang Tian, kamu tidak rindu dengan adikmu?"

.

"Eh! Apa ini, peluk-peluk?"

Teriakkan Bunda dari bawah lantas kembali mengisi hening di rumah besar ini.

RAKALA BASWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang