Bel pulang yang sudah berbunyi dari semenit yang lalu kini mulai riuh suara anak-anak yang ingin segera pulang ke rumah masing-masing.
Di pertengahan waktu siang dan sore kali ini, langit mulai mendung. Tampak hujan ingin segera mengambil alih.
Padahal barusan tadi Kara dan Aksa misuh-misuh karena kepanasan, mana kipas di kelas mati lagi.
"Kamu pulang sama siapa, Ta?" tanya Rakala.
Keduanya yang kini sama-sama berada di parkiran, membiarkan dua temannya yang lain terabaikan seperti anak tiri.
"Tunggu jemputan, Ra."
"Ya udah sama aku aja."
"Nggak papa emang?"
"Nggak papa."
Lantas helm yang ada di tangan Rakala beralih pada tangan Anindita.
"Kamu aja yang pake." Ujar Rakala saat paham melihat kebingungan di raut wajah Anindita.
"Kamu?"
"Kamu lebih penting."
Dua curut yang juga ada di parkiran bersama dua sejoli itu tampak tidak sabar ingin menyoraki, tapi ya malu juga di sini bukan cuman murid yang memarkirkan kendaraan. Melainkan para guru.
"Gas terus!" ujar Kara menekankan setiap kata yang ia lontarkan. Bukannya cemburu, tapi Kara tuh gemes aja sama Rakala. Dari dulu suka sama Anindita tapi tidak ada satu pun keberanian yang mencuat untuk menyatakan perasaan.
Anindita yang melihat kelakuan teman-temannya itu lantas terkekeh sebentar, lalu mulai naik di atas motor Rakala.
Tampa menatap kembali kedua teman laknatnya itu Rakala mulai melajukan motor kesayangan miliknya. Beradu pada aspal panas yang kini mulai menguarkan bau khas karena gerimis yang mulai turun.
Jalanan kota Bandung yang semakin dijelajah semakin tak ingin pulang. Melihat bagaimana suasana kota yang selalu jadi candu ini.
"Pegangan, Ta."
"Udah."
"Kok nggak kerasa?"
"Kan di belakang." Lantas menoleh sebentar ke belakang, tepat pada tangan Anindita yang memegang erat besi paling ujung motornya.
Terkekeh karena ketidakpekaan Anindita, lalu membawa tangan Anindita ke pinggangnya.
"Pegangan di sini maksudnya." Ujar Rakala, tampa tau ada debar yang semakin kuat berdetak milik seseorang yang ia bonceng.
Bukan pertama kali memang dibonceng Rakala, tapi ini kali pertama bagi Anindita memeluk pinggang itu.
Gerimis serta dingin angin berhembus bahkan tidak mampu membuat keduanya membeku, pegangan tersebut mampu membuat hangat menjalar.
"Pegangannya dikencengin, Ta! Mau ngebut nih."
"Jangan Raka!!! Jalanan licin."
"Nggak papa, pegangan aja." Ujar Rakala.
Lalu pegangan yang semakin erat itu mampu menjelaskan bagaimana kini roda-roda melaju di atas rata-rata orang berkendara.
Teriakan dari Anindita di belakang menjadi suara paling tidak bisa Rakala hapus rekamannya.
Melaju di antara kendaraan lain bersama orang yang semenjak pertama kali bertemu sudah membuatnya jatuh cinta seperti ini, mampu membuat perasaan ingin memiliki semakin meninggi.
Tidak menghiraukan langit yang semakin menghitam serta gerimis yang mulai menjadi butiran kasar yang terus menghujam.
Rakala terus berkendara sampai waktu membawa mereka sampai pada kediaman Anindita.
Turun dari motor tersebut Anindita langsung melepas helm serta memakaikannya pada Rakala.
"Nggak mau masuk dulu?"
"Nggak, langsung pulang ya."
"Ya udah hati-hati. Kalau sendiri jangan ngebut kayak tadi."
"Emang kenapa?"
Tanya yang langsung dapat pukulan di helmnya itu membuat Rakala semakin tertawa, menggoda perempuan yang lagi datang bulan seperti ini ternyata seru juga.
Emosinya kadang susah diatur.
"Peka dong, Ra."
"Peka apa dulu nih?"
"Tuhkannnn, ah taulah sana pulang kamu."
Tawa yang kini mengisi suasana beku karena hujan mampu menghangatkan. Mulai menyalakan motor yang sempat mati.
Rakala kembali berucap sebelum hilang dari pandangan Anindita.
"Pulang dulu ya, kapan-kapan aku peka kok. Tapi, dibales ya."
Selepas kepergian Rakala, Anindita tetap diam di depan gerbang rumahnya.
Menatap bayangan Rakala yang mulai menjauh, seutas senyum lalu terbit.
"Dibales kok." Monolognya.
-Rakala Baswara-
Semenjak pulang sekolah sampai beranjak malam hujan tidak kunjung reda, dan di saat itu pun Rakala enggan beranjak dari balkon.
Salah satu tempat paling favorit untuk menyembuhkan luka-lukanya.
Menadah kembali air hujan yang turun dari atap, melihat setiap tetes yang membasahi telapak tangan.
Ingin mengeluh tapi ia malu, pada hujan yang jatuh berkali-kali tapi tidak pernah menangis.
Entah jatuh pada tanah keras atau lumpur basah, tetap menerima takdir tampa menentang.
Lantas kenapa dengan permasalahan seperti ini saja ia langsung melemah?
"Hujan lagi."
Kata yang keluar setelah lama terdiam, hamparan nabastala di atas sana kini tampak begitu kelam. Apalagi saat hujan turun, tambah tidak kelihatan.
Rindu yang kembali mencuat benar-benar tidak bisa Rakala tahan, tapi percuma juga menghubungi Tian.
Pasti tidak diangkat. Apa sesibuk itu ya kakaknya di sana.
"Kangen banget Bang, pengen peluk tapi jauh."
-Rakala Baswara-
Maaf gaje dan singkat, agak capek🙃
Senin, 29 Agustus 2022.19:41.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKALA BASWARA
Fanfiction"Bang. Paris lebih berarti ya daripada gue?" "..." "Lo nggak pernah pulang soalnya, hehe, pulang ya? Besok gue ulang tahun." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 26/08/22 ~Akhir, 07/09/22 ©RAKALA BASWARA | 2022