Tubuh yang dihempas ke atas kasur, langsung tenggelam bersama rasa tegang yang masih menemani.
Pulang dari Maribaya bersama Anindita rasanya masih ada yang menahan. Selama itu juga membonceng Anindita pulang, hanya ada hening yang tercipta.
Apa ini rasanya saat perasaan kita digantung?
Menghela nafas beberapa kali sembari menatap langit-langit kamar. Seakan melihat bayang Anindita saat di hutan pinus. Wajah bulat yang cantik dengan kulit putih yang tidak terlalu pucat.
Dress hitam selutut yang ia kenakan sangat pas dengan warna pakaian Rakala yang sama-sama hitam.
Bahkan selama ini menahan perasaan suka masih harus menunggu jawaban pasti.
"Nggak papa, Raka. Lo kayak gini berarti lagi diajar sabar sama Tuhan." Monolognya.
Nampaknya perjuangannya baru dimulai sekarang, atau justru makin bertambah apa yang harus diperjuangkan.
Tidak apa, akan ada hasil sesudah usaha. Cuman butuh waktu sebelum menerimanya.
"Jangan kasih waktu lama buat nunggu ya, Ta."
"Hubungan kita bakalan resmi cuman butuh jawaban dari lo."
Memejam sesaat lalu kembali membuka mata, saat itulah ia tersentak saat bayangan sang Bunda tiba-tiba terlihat.
"Udah pulang?"
"Bun, jangan ngagetin." Lirih Rakala mengusap bagian dada yang sedikit cenat-cenut, akhir-akhir ini memang sering sesak.
Bahkan lebih sering dari biasanya.
Bunda yang melihat itu ikutan panik, duduk di dekat Rakala sembari mengusap bagian dada yang naik turun.
"Maaf ya, Bunda nggak sengaja. Mau pake in—"
"Nggak usah Bun, nggak papa. Emang ini lagi manja aja mungkin." Ucap Rakala, memotong ucapan Bunda dengan senyum yang selalu mengembang.
Senyum yang selalu terpatri dalam suasana apapun, bahagia tersenyum, sedih pun tetap tersenyum.
Moto Rakala adalah, 'sesedih apapun kalau dihadapi dengan senyuman pasti akan terasa jauh lebih ringan'.
"Gimana ini anak Bunda pendekatannya?" tanya Bunda, mengelus puncak kepala Rakala yang selalu lepek karena keringat dingin.
Telapak tangan pun ikut berkeringat, disapunya tangan sang anak dengan telapak tangan Bunda.
Telapak tangan yang seperti baru kemarin ia genggam masih sangat kecil, sekarang sudah lebih besar dari punyanya.
Ada rasa lain saat mendengar apa yang Bunda tanyakan. Lantas ranum tersebut mulai terangkat untuk berucap.
"Lancar kok Bun, udah aku tembak." Ujar Rakala.
"Mati dong anak orang." Celetuk Bunda, sedangkan Rakala hanya memanyunkan bibir lucu.
Seperti anak kecil yang ngambek saat tidak dibelikan permen.
"Bunda mah."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKALA BASWARA
Fanfiction"Bang. Paris lebih berarti ya daripada gue?" "..." "Lo nggak pernah pulang soalnya, hehe, pulang ya? Besok gue ulang tahun." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 26/08/22 ~Akhir, 07/09/22 ©RAKALA BASWARA | 2022