Malam yang kini dijadikan sebagai tempat lara bersuara, menatap nabastala kelam tampa warna.
Bulan yang seharusnya terlihat bulat sempurna kini enggan untuk hadir. Suara jangkrik khas malam menyambangi ikut menemani binar yang meratap.
Lantunan lagu Untukmu Aku Bertahan oleh Afgan yang mengudara bersama petikan gitar dari tangan lentik menjadi suasana yang tidak akan pernah Rakala tinggalkan.
Suasana tenang namun sayang pikirannya yang begitu berisik.
Kebanyakan orang yang diam ataupun disebut kalem pasti ada saja yang membuat bising di dalam kepala. Ingin ikut bergabung dengan keramaian tapi takut saat masuk malah keramaian tersebut terdiam.
Tipikal sepi dalam keramaian, mungkin tidak akan pernah bisa menjadi ramai dalam keramaian.
"Abang pulang nggak?" monolog Rakala, bertanya lirih pada satu bintang yang sedari tadi menemaninya.
"Nggak ya? Nggak papa, yang penting doanya ya, Bang." Menunduk dengan tetes yang jatuh pada senar gitar, Rakala memukul dada yang kembali terasa sesak.
Kenapa rindu ini bahkan lebih menyiksa daripada sesak di dadanya?
Semakin meremas, semakin dipukul, sesak itu bukannya pergi malah tambah semakin menghujam.
Nafas yang berbunyi bahkan hanya dibiarkan terus mengalun oleh Rakala, enggan beranjak untuk mengambil inhalernya. Terlalu muak menggunakan benda itu, dihirup tapi tetap saja menyisakan sesak.
"Raka c-cuman minta satu hal Bang. Pulang." Batuk yang langsung menyambut itu mampu membuat yang ada di belakang masuk dengan panik yang menjalar.
"Raka!" tidak menghiraukan panggilan tersebut tubuh Rakala meluruh di lantai balkon yang dingin, meremas bagian dada yang semakin menghujam sesaknya.
"Ra, ini dipakai dulu inhalernya." Ujar perempuan tersebut. Membuka penutup inhaler lalu membantu Rakala menghirup oksigen tambahan yang telah bercampur obat.
"Hah..... hah... ukh.... ukh..." berusaha menetralkan nafasnya sendiri Rakala mendongak pada wajah bulat yang kini ada di depannya. Membantunya bersandar, kemudian tampa aba-aba langsung mendekapnya.
Tangis yang mulai terdengar membuat tangan Rakala terangkat, mengelus punggung ramping yang kini mendekapnya erat.
"Kenapa nggak langsung pakai?" dengan suara serak Anindita bertanya.
Iya, yang tadi masuk beserta segala caci maki kepada Rakala karena tidak langsung memakai inhalernya itu adalah Anindita. Niat hati ingin membawakan Bunda Rakala titipan dari Bundanya malah kedapatan Rakala kambuh saat ia naik ke lantai atas.
Rakala yang masih termangu mulai tersadar saat obsidiannya bertubrukan dengan netra hazel Anindita.
"Kenapa?" dengan hidung memerah Anindita kembali bertanya.
Di mata Rakala, Anindita yang seperti ini benar-benar terlihat imut.
"Nggak papa." Jawab Rakala seadanya. Menghela nafas sejenak kemudian beranjak dari balkon menuju kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKALA BASWARA
Fanfiction"Bang. Paris lebih berarti ya daripada gue?" "..." "Lo nggak pernah pulang soalnya, hehe, pulang ya? Besok gue ulang tahun." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 26/08/22 ~Akhir, 07/09/22 ©RAKALA BASWARA | 2022