7. Masa Pendekatan

965 63 0
                                    


Pagi yang menyambut pertama kali adalah bau harum nasi goreng buatan Bunda di atas meja.

Usai siap dengan seragam putih abu-abunya Rakala turun dari lantai atas, pagi yang cukup cerah usai hujan yang baru reda sekitar jam tiga subuh.

Serta pagi ini Rakala berjanji akan menjadi pribadi yang lebih kuat tampa kambuh lagi.

"Ayahhhh!"

Grepp

Ayah yang baru ingin duduk itu sedikit terhuyung karena langsung diterjang oleh Rakala. Rakala dekap erat daksa milik Ayahnya.

Ayah hanya tersenyum tipis, membawa tangan kekar miliknya untuk mengusap surai Rakala. Hitam legam dengan harum shampoo yang menguar menjadi tenang yang candu.

"Kenapa ini si bocil?"

"Ayah mah udah dibilang jangan panggil kayak gitu." Dengus Rakala.

"Kan bagus, itu namanya panggilan kesayangan." Ujar Ayah, menoel hidung mancung milik Rakala.

Masih kesal tapi mau tidak mau tetap tersenyum pada Ayah, kini Rakala mulai duduk di dekat Bunda.

Menyantap nasi goreng miliknya dengan cepat.

"Pelan-pelan atuh makannya, kasep." Ujar Bunda.

"Buru-buru, Bun."

"Buru-buru mau ke mana? Masih awal ini, gerbang sekolah kamu aja belum dibuka." Ucap Bunda lagi, pagi yang cerah memang tapi jam masih sangat awal untuk dikatakan berangkat sekolah.

"Berangkat bareng sama Dita, mau kujemput dulu." Jawab Rakala di tengah-tengah ia menikmati nasi gorengnya.

Ayah serta Bunda yang mendengar itu tersenyum penuh, ternyata anak bungsunya ini mulai kasmaran dengan sahabat sendiri.

"Kamu tidak prenjon kan?" celetuk Ayah.

"Apaan sih, Yah." Sedikit malu ditanya seperti itu, lantas kembali melahap nasi goreng yang tinggal sesuap.

"Kan bahaya atuh Raka, kalau prenjon. Nanti gimana kalau kamu saja yang jatuh cinta tapi perempuannya tidak."

Perkataan Ayah lantas menghentikan kegiatan Rakala. Mendongak menatap sang Ayah yang juga menatapnya.

"Raka, bakalan pastiin kalau kita sama-sama suka."

Bunda yang duduk di sampingnya mengelus pelan surai hitam legam itu.

"Harus dong, kamu kan laki-laki. Laki-laki sejati dinilai dari perjuangannya bukan dari janji manis yang belum tentu ditepati." Ujar Bunda, mampu membuat seutas senyum terpatri indah di raut wajah Rakala.

"Ayah kamu juga gitu dulu. Berjuang demi Bunda, padahal Bunda sukanya sama laki-laki lain." Sambung Bunda, sembari menerawang kembali saat-saat di mana seorang Bagas yang mati-matian menaklukan hatinya dari pria lain.

"Beneran, Yah?" tanya Rakala pada Ayah yang hanya menyimak.

"Bener, tapi satu lagi Raka."

RAKALA BASWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang