Happy Reading!!
.
.
Lita menatap pantulan dirinya di cermin. Benar-benar berantakan. Penampilannya semakin lama semakin berantakan saja. Kantung matanya juga semakin tebal. Semuanya membuatnya lelah. Rutinitas monoton yang ia jalani ditambah lagi masalah-masalah yang timbul membuatnya semakin lelah. Huft.. ia menghela napas panjang. Dia suka belajar, tapi rasanya dia tidak ingin masuk sekolah lagi. Rasanya lebih baik kembali kekehidupan lamanya. Hidup disini tidak buruk. Tapi, rasanya semuanya membuatnya lelah.
Kehidupan sekolahnya yang tenang ternyata tidak terwujud. Dulu dia tidak benar-benar mengerti permasalahan-permasalahan yang ada disekolah. Membaca novel tentang kehidupan sekolah pun rasanya tidak begitu nyata. Tapi sekarang dia merasakannya.
Sekolah itu lebih mirip hutan belantara. Terlebih lagi sekolah yang dibiayai oleh para orang-orang berada. Sekolah itu harusnya tempat menuntut ilmu. Tapi yang dia lihat hanyalah tempat pamer harta dan kekuasaan belaka.
Anak-anak dari orang yang berada memiliki kekuasaan lebih tinggi dari pada yang lain termasuk guru. Calista bisa dijadikan contoh nyatanya. Dia lebih berkuasa, dia queen bullying sekolah. Dengan marga Bagaskara yang dia sandang dibelakang namanya, berapa banyak kekuasaan yang dia bawa?
Guru-guru pun tidak bisa bersikap adil. Buktinya sampai sekarang sosok antagonis itu masih ada disekolah ini. Bahkan jika korbannya sudah banyak dan bejibun tetap saja tidak ada tindakan yang berarti.
Lita sering mempertanyakannya. Mengapa dunia tidak bisa adil? Mengapa manusia selalu bertingkah seakan dirinya adalah segalanya? Terutama anak yang lahir dengan sendok emas dimulutnya, yang selalu hidup nyaman sejak lahir. Dia bertanya-tanya bagaimana pola asuh mereka? Kenapa mereka bisa tumbuh menjadi orang yang arogan, dan bertingkah semaunya tanpa memikirkan dampaknya?
Apakah itu karena uang? Uang yang menyelesaikan semua masalah mereka? dengan uang mereka bisa dengan mudah menyuap para korban untuk tetap diam atau mungkin dengan ancaman? Lita tidak mengerti pola pikir orang berada.
Oke. Dia bukannya tidak pernah merasakannya. Dulu dia sebagai Nabil dia pernah. Namun itu hanya sesaat, atau hanya sedikit dari ingatannya yang tersisa. Menjadi anak orang berada itu tidak enak. Menurut Nabil. Lalu apakah orang-orang itu bersikap seperti itu karena mereka tidak nyaman dengan kehidupannya sendiri?
Padahal mereka beruntung, setidaknya mereka tidak perlu berpikir bagaimana caranya bertahan hidup diluar sana. Tidak perlu berpura-pura baik-baik saja, menutupi semua luka seorang diri. Dia tidak pernah mempertimbangkannya. Calista mengatakan dia tidak boleh terlihat lemah, itu artinya mereka harus berusaha terus terlihat kuat agar tidak dijatuhkan?
Tapi kenapa protagonis cerita ini berbeda? Padahal Zhafira juga berasal dari keluarga terpandang. Kenapa dia mau saja ditindas oleh sang antagonis padahal harusnya dengan kekuasaan yang ada padanya bisa saja dia melawan. Atau sang antagonis terlalu menakutkan untuk dilawan? Dia tidak mengerti.
.
Lita melangkah, mencoba tetap terlihat tenang kala bisik-bisik dari orang-orang masuk ketelinganya. Ejekan, hinaan terlontar dengan mudahnya. Menusuk masuk kedalam pikirannya. Menambah daftar penghinaan yang tertanam dalam dirinya. Lita ingin pulang, dia ingin mengurung dirinya dalam kontrakannya. Atau kalau dia bisa kembali ke kehidupannya yang dulu juga tidak terdengar buruk.
Apa salahnya sih duduk bersama dengan para pentolan sekolah? Hell! Dia bukannya menginginkannya. Mereka duluan yang seenaknya masuk kedalam hidupnya. Mengacaukan perencanaan hidup damainya. Dan siapa yang menyangka kalau figuran sepertinya memiliki kehidupan penuh drama seperti ini. Bahkan melebihi sang tokoh utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Figuran: Meaning Of Life (END)
Teen FictionNabil si gadis desa yang putus sekolah dan bekerja membantu kakek neneknya. Akibat suatu kejadian dia harus meregang nyawa dan terbangun di ruangan asing yang menurutnya sangat mewah. Lita, figuran yang hanya pernah disebutkan namanya dan namanya m...