Chapter 25

46K 2.4K 213
                                    

Lucien tidak main-main. Sungguh ia buat amarah Cutter meledak-ledak, mereka bertengkar kacau hingga Cutter memukulnya tanpa lagi memandang Lucien sebagai seorang pria.

Beberapa barang-barang di rumah itu bahkan menjadi korban dari amarah Cutter yang digunakannya untuk memukuli Lucien. Pun hampir menikam Lucien dengan pisau dapur juga menghantam kepala lelaki itu memakai kursi-kursi plastik dan beberapa dari kursi tersebut menjadi patah mengenaskan.

Sudah seperti sepasang suami istri pertengkaran mereka malam ini. Cutter berakhir dengan mengamuk lalu menangis hancur dan memberi semua sumpah serapah dan segala kutukan juga caci makinya kepada Lucien.

Setelahnya, Cutter berhenti menangis di saat ia merasa lega dan ketika melihat rahang Lucien pun ikut membengkak, hidung mimisan, bibir pecah serta kepala pria itu yang bocor kecil.

Sudah seperti itu pun Lucien masih mampu terkekeh. Ia duduk di sofa bersama napas memburu, memandang Cutter lama disertai senyum menggoda.

"Tumpukan batu di hatimu sudah berkurang, um?" tanya Lucien. Mengompres sendiri bibir juga rahangnya.

Cutter bergeming sembari menyeka-nyeka ingus beningnya dengan lembaran-lembaran tissue. Sungguh lega hatinya kini. Rasa sesak yang ditahannya mendadak hilang dan pergi entah ke mana.

"Kau hanya butuh menangis dan melampiaskan sedikit rasa marahmu. Tidak perlu sampai harus meninggalkanku," kata Lucien.

Cutter melirik lelaki itu dan melihat keadaan wajah Lucien. Dengan bibir pecah juga sedikit berdarah dan rahang membengkak, Lucien bahkan masih terlihat tampan pun kian jantan. Cutter bingung sendiri jadinya. Semakin terluka bersama napas memburu Lucien justru tampak hot juga seksi.

Mereka saling memandang. Lucien terkekeh masih terengah lelah namun Cutter memandangnya sendu lalu tiba-tiba saja bibir wanita itu jatuh melengkung. Matanya memanas dan memburam lagi saat memandang Lucien lama.

"Kau terluka..." Serak lemah Cutter berkata. Ia beranjak dari kursinya kemudian menghampiri Lucien di sofa. Tiba-tiba memeluk kepala Lucien di dadanya, meniup-niupi luka pada kepala pria itu.

"It's okay. Rahangmu juga membengkak karena tanganku. Aku minta maaf." Lucien berdiri lalu otomatis Cutter menengadah.

Perlahan Lucien memegang rahang Cutter kemudian dia kecup lembut-lembut di bagian bengkaknya. "I'm sorry," bisik Lucien di depan bibir Cutter.

Mengangguk Cutter lantas meniup-niup lagi luka cakar di lengan Lucien. Memang sudah tidak wajar lagi caranya memukuli Lucien tadi. Pria itu sudah dia pukuli seperti anak kecil yang membuat ibunya sangat marah besar.

"Aku minta maaf," lirih Cutter berkata. Menggigit bibirnya yang terus saja ingin jatuh melengkung ke bawah. Mendadak ia merasa bersalah dan tidak tega.

Senyum manis dan tampan Lucien justru tercipta di wajahnya. Ia tatap Cutter lekat-lekat yang sesungguhnya begitu rapuh, sangat membutuhkan teman berbagi cerita dan berpulang ketika lelah. Tempat untuk mengayominya.

Lucien mengerti, ia tahu perempuan itu sangat ingin memiliki seseorang yang mau menyayanginya. Cutter iri kepada mereka yang disayangi dan diperlakukan lembut. Perempuan itu juga ingin merasakannya.

"Jangan ditahan jika kau merasa sesak dan ingin menangis. Tidak ada yang salah dengan menitikan air mata. Itu memang racun yang harus kau keluarkan agar tidak bersarang penuh di dadamu," tutur Lucien.

"Kau hanya ingin diberi kasih sayang. Aku tahu." Lucien menambahkan.

Bibir Cutter bergetar lalu spontan menangis lagi. Ia mengangguk kecil samar-samar dan langsung menyeka air matanya cepat-cepat.

RUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang