Chapter 12

51.2K 2.3K 129
                                    

Bernapas berat, kasar-kasar perempuan itu mengembuskan asap rokok dari pada mulutnya.

Menatap lurus ke depan, ke arah luar jendela dan terhitung tiga puluh menit sudah Cutter mengabaikan Lucien. Memasang mimik datar galaknya serta merta terus menyesap rokok.

Lucien pun diam saja. Duduk santai di sofa yang hanya ada satu di dalam rumah kecil milik Cutter itu.

Sembari menyesap rokok dan sesekali menenggak air pusingnya, Lucien tatapi Cutter yang ia tahu perempuan itu marah kepadanya.

"Kenapa kau harus marah? Tidak ada ikatan apa pun di antara kita yang dapat digunakan untuk saling melarang." Dari posisinya Lucien berucap.

Cutter melengos cepat, melihat galak ke arah lelaki itu.

"I know. Tapi setidaknya kau beritahu aku jika kau ingin pergi selama itu." Cutter berdiri, berjalan ia menghampiri Lucien.

"Satu bulan kau pergi tanpa memberitahu apa pun setelah kau menyodok lubangku habis-habisan sampai puas. Kau tinggalkan aku masih di dalam keadaan telanjang bulat, membiarkanku terbangun di dalam kamarku yang gelap tidak bernyalakan lampu," omel Cutter lugas.

Lebih dekat lagi ia menghampiri Lucien. Berdiri langsung di hadapan pria tersebut.

"Aku tahu kita tidak memiliki hubungan—,"

"Bagus jika kau sadar. Lalu apa masalahnya?" Lucien menyela dan ia ikut berdiri. Otomatis Cutter menengadah.

Perempuan itu benci ucapannya dipotong di saat suasana hatinya sedang kacau.

"Keparat!" pekik Cutter. Dihantamnya rahang Lucien sampai pria itu terjerembab kembali menghuni sofa. Terkapar di sana sebab pukulan Cutter begitu kuat.

"Dengar!" Berat napas Cutter kala mencengkeram singlet putih Lucien. Dia linting lantas mendekatkan wajah mereka.

Lucien justru menyeringai di sana. Menekan pipi dalamnya memakai lidah, terkekeh cool berat menemukan mimik marah Cutter.

"Aku memang bukan wanita alim yang taat beribadah, tapi jangan pula kau samakan aku dengan jalang. Sampai menganga lubangku kau sodoki, setelah itu kau pergi entah ke mana dan datang lagi untuk menggodaku. Kau pikir aku anjing betina yang rela dikawini kapan saja?" sergah Cutter.

Lucien terkekeh lagi. Menampilkan ekspresi bajingannya di depan Cutter. Menyeringai panas, singkat menengok ke sisi kiri lalu kembali lagi ia menatap Cutter.

"Memangnya apa perbedaanmu dengan para jalang atau dengan para anjing betina? Bukankah sama-sama untuk dipermainkan sejenak atas mau sama mau, uh? Bagaimana, apa aku salah?" tutur Lucien.

Persis sama mimik bajingannya seperti Ical ketika muda dulu. Menjengkelkan, memuakkan juga tampan di waktu yang bersamaan.

Cutter mendengus dan kali ini dengusannya amat kasar. Tiba-tiba ditumbuknya mulut Lucien penuh tenaga, menendang perut lelaki itu kemudian berputar seraya mengayun kaki kanannya. Menghantam kepala Lucien lalu terkapar sudah Lucien di lantai.

Bibir Lucien pecah pun kepalanya terasa cukup pening. Alih-alih marah, Lucien justru terkekeh lagi, menyeringai berengsek bajingan.

"Aku suka kekerasan dalam rumah tangga," celetuk Lucien. Memancing emosi Cutter yang kian meluap-luap.

Terlalu marah, Cutter sampai tidak mampu lagi untuk bertindak lebih. Sejatinya, mulut lelaki jauh lebih menyakitkan daripada wanita. Terlebih mereka, trah Scott.

Cutter terpejam guna meredam amarahnya. Menunjuk ia ke arah pintu keluar.

"Keluar. Pergi dari hadapanku. Aku tidak ingin lagi melihatmu." Cutter mengusir.

RUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang