Chapter 20

598 58 7
                                    

Off masih belum menghubungi Gun sampai hari ini. Sudah seminggu berlalu sejak berita itu beredar dan selama itu pula Off menghilang tanpa meninggalkan jejak. Gun tidak berusaha mencari tau, karena ia tidak tau harus menanyakan tentang keberadaan Off dimana. Meskipun begitu, ia tetap menjalani harinya seperti biasa. Berlalu lalang ke sana kemari karena jadwal syutingnya yang cukup padat, kembali ke apartemen dan bekerja lagi keesokan harinya, semua kesibukan itu ia lakukan untuk menutupi perasaannya yang kosong. Bagaimanapun juga, tidak bisa dipungkiri kalau ia merindukan Off.

Kegiatan Gun untuk hari ini selesai lebih cepat daripada biasanya, ia tidak singgah kemanapun malam itu dan memilih untuk langsung pulang ke apartemen. Tubuhnya lelah dan yang ia butuhkan hanya istirahat. Tepat sebelum ia benar-benar masuk ke dalam apartemennya, seseorang berpakaian serba hitam menepuk pundaknya dan membuat Gun hampir berteriak karena kaget. Namun setelah pria itu membuka maskernya, Gun cukup lama terdiam. Dia adalah Off, datang dengan wajah sayu seperti sedang memikul beban yang begitu berat, sekarang berusaha menyunggingkan senyum kepadanya.

"Aku datang Gun," ucapnya lemah dan ia pun memeluk Gun saat itu juga.

Pelukan itu lebih erat daripada biasanya, seakan-akan dia ingin mengungkapkan pada Gun bahwa dia sangat merindukan pria itu.

"Ayo masuk ke dalam, di sini bukan tempat yang bagus untuk kita mengobrol," Gun melepaskan paksa pelukan Off, kemudian menggandeng pria itu untuk ikut bersamanya.

Off tidak memberontak, ia mengikuti pria mungil yang ada di hadapannya dengan pasrah. Entah berapa lama mereka tidak bertemu, tapi yang pasti Gun terlihat baik-baik saja. Itu sudah cukup baginya.

"Aku akan mengambil beberapa buah dan camilan di dapur, mau minum bir malam ini?" tanya Gun yang sekarang sedang membelakangi Off.

"Mari kita tidak bertemu lagi setelah ini," kata itu bukan yang diharapkan Gun sebagai jawaban.

Gun tidak menimpali perkataan itu lalu membalikkan badannya sambil menyunggingkan senyum kecil.

"Apa kau sudah tidak sabar lagi mengakhiri semuanya denganku?" tanya Gun masih tersenyum,"kamu bisa mengatakan itu nanti di akhir, Papii. Aku tau kalau kamu datang bukan untuk menjelaskan semuanya padaku, kamu datang untuk mengakhiri semuanya. Hanya saja, bisakah kita tidak membahas itu untuk malam ini?"

"Jadi, bagaimana dengan bir malam ini?" pertanyaan itu ia lontarkan lagi.

"Bukankah seharusnya kamu marah?" tanya Off dengan tatapan menyelidik,"kamu seharusnya memakiku, memukulku, kenapa kamu malah bersikap tidak ada yang terjadi?"

"Ini tentang kita, Gun," nafasnya memburu karena amarah,"SEMUANYA TENTANG KITA, BUKAN YANG LAIN," emosi Off memuncak, wajahnya merah, dan ia benar-benar menatap Gun dengan marah.

"APA KAU TIDAK MENCINTAKU? APA PERASAANMU PADAKU SUDAH BERUBAH?" emosinya semakin meluap-luap. Dia benar-benar seperti orang gila, melampiaskan amarahnya pada orang yang sangat ia sayangi.

Lagi-lagi Gun tidak membalasnya, pria itu hanya tersenyum kemudian menghampiri Off.

"Mau mendengar sesuatu?" tanyanya lembut. Ia sekarang sudah duduk di samping Off dengan menatapnya tanpa berkedip.

"Dari awal aku memutuskan untuk jatuh cinta padamu, aku tidak pernah mengharapkan apa-apa. Karena cinta yang seperti ini tidak bisa di terima oleh kebanyakan orang," Gun menghela nafas dengan panjang,"sampai di titik di mana kabar itu beredar, aku masih memegang teguh hal tersebut. Papi, beberapa bulan terakhir ini adalah sesuatu yang sangat berharga bagiku. Tapi kembali lagi, aku tidak mengharapkan apa-apa. Harapanku hanyalah agar kamu terus bahagia, memiliki keluarga yang utuh dan memiliki anak-anak yang lucu."

"Setidaknya aku tidak akan mengkhawatirkanmu lagi nantinya. Kamu sudah punya orang yang menjagamu, memperhatikan semua hal kecil tentangmu, dan juga mencintaimu dengan tulus. Papi, hanya itu yang kuharapkan. Tidak ada lagi selain itu," ucap Gun dengan penuh ketulusan hati.

"Gun, apa kita tidak bisa berjuang? Kita bisa meyakinkan orangtuaku, keluargamu, mungkin saja mereka akan menerima hubungan kita. Ya Gun? Bagaimana?" pria itu meremas bahunya dengan panik, sepertinya saat ini pikiran Off sedang kacau.

"Aku tidak mau melukai perasaan siapapun, Papi," jawabnya dengan lembut,"orangtuamu maupun keluargaku, tidak ada yang boleh terluka karena keegoisan kita sendiri."

"Papi, Nan gadis yang baik. Aku bisa menjamin itu, dia hanya terlalu mencintaimu sehingga obsesinya padamu terlalu besar. Selebihnya, dia benar-benar gadis yang baik. Apa kau bisa mempercayai ucapanku?" Gun menatap mata sayu itu dengan lembut kemudian meremas tangannya sama lembutnya.

"Bagaimana dengan kalimat bahwa saling mencintai tidak harus untuk saling memiliki? Aku mungkin mencintaimu, sangat mencintaimu sampai rasanya perasaanku membuncah karena perasaan itu sendiri. Tapi yang aku punya hanya cinta, sementara dunia menolak cinta sejenis ini," Gun mengatakan ini dengan tatapan yang masih tetap terpaku pada Off,"kalau saja, seandainya, kita terlahir dengan gender yang berbeda mungkin secara penuh aku bisa memilikimu. Tapi takdir tidak menghendaki itu, kita terlahir dengan gender yang sama dan sampai kapanpun itu hanya akan ada segelintir orang yang mendukung cinta sejenis ini. Papi, yang kita punya hanya cinta tapi yang harus kita ingat bahwa dunia memiliki normanya sendiri dan kita tidak bisa melawan takdir itu."

Off terdiam dan bahkan tidak berani untuk menatap orang yang ada di depannya. Dia benci mengakui bahwa semua yang dikatakan Gun adalah benar. Juga, benci mengakui bahwa ia bahkan tidak bisa berjuang untuk pilihannya sendiri. Gun segalanya untuknya, pria itu terlalu lama hadir di setiap hal dalam hidupnya sehingga membuatnya terbiasa. Entah bagaimana kehidupannya nanti ketika ia dan Gun sudah tidak bersama lagi. Membayangkannya saja itu cukup membuat perut Off mual.

"Papi, tatap mataku," Gun mengangkat dagu pria itu, kemudian dengan jarinya menarik bibir itu untuk tersenyum.

"Tidak ada yang perlu di sesali papi, semuanya akan baik-baik saja nantinya," ucapnya berusaha meyakinkan Off bahwa pilihannya tidak salah. Mementingkan keluarga di atas segalanya adalah pilihan yang tepat.

"Aku akan mandi sebentar, Papi tunggu di sini dan aku akan kembali dalam lima menit," ucap pria itu kemudian yang lantas dengan setengah berlari berjalan ke arah kamar mandi.

Gun menutup pintu kamar mandi dengan rapat dan terduduk lemas setelahnya. Tangis karena rasa sakit yang begitu dalam menyayat hatinya akhirnya bisa ia luapkan di sini. Gun tidak ingin menangis di depan Off, karena jika ia lakukan itu maka yang ada pria itu tidak akan pernah melepaskannya.

Pria itu tau bagaimana sakitnya kehilangan satu-persatu keluarganya dalam waktu dekat dan Gun tidak ingin Off merasakan hal yang sama dengannya. Keluarga itu terlalu sempurna untuk dihancurkan, hanya karena cinta bodoh yang mereka rasakan. Tapi tetap saja, rasanya sangat menyakitkan merelakan seseorang yang sangat ia cintai bersama dengan yang lainnya. Terlebih lagi, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima semua itu.

Maae, rasanya sakit. Sangat menyakitkan... Batinnya dalam hati seraya memukul berulang kali dadanya berusaha menghilangkan rasa sesaknya.

Selamat membaca semuanya ya😊

Maaf karena akhir-akhir ini jadi lama upload ceritanya, kerjaan sama kuliahku cukup sibuk jadinya susah buat ngebagi waktu

Terimakasih buat pembaca semuanya ya, yang untuk vote juga🥰

See you next chapter 🤗🙏🏻

Love and Tears (Offgun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang