Chapter 24

629 54 1
                                    

Gun berdiri termenung di depan pusara tempat peristirahatan terakhir Ibunya, membawa buket penuh bunga lantas meletakkannya dengan hati-hati di atas makam orang yang sangat dicintainya itu. Entah apa yang membawa Gun datang ke sini, tapi yang jelas ia merindukan Ibunya saat ini. Mungkin karena terlalu banyak masalah yang dihadapinya akhir-akhir ini, membuatnya membutuhkan seseorang yang paling mengerti dirinya. Gun jarang datang ke sini, selain karena jadwalnya yang padat dia tidak ingin terlalu membangkitkan kenangan bersama Ibunya dulu. Terlalu indah sekaligus terlalu menyakitkan untuk diingatkan.

"Mae, Gun datang," pria berkacamata hitam itu tersenyum kecil dan mengusap batu nisan bertuliskan nama Ibunya.

"Gun datang karena merindukan Mae," ucapnya,"Gun hanya datang sendiri, Pim tidak bisa datang karena ujiannya. Anak kecil itu bahkan sudah kuliah sekarang dan dia benar-benar mirip denganmu, Mae. Sifatnya, wajahnya, semuanya sama denganmu. Nenek sudah terlalu tua untuk sekedar datang menjengukmu, Gun harap Mae mengerti itu."

"Bagaimana rasanya di sana? Apa menyenangkan? Gun harap Mae tenang di sana. Bukankah Gun sudah berjanji untuk selalu menjaga Pim dan Nenek ketika nanti Mae sudah tidak ada? Gun sudah menepatinya, Gun benar-benar berjuang keras untuk mewujudkannya. Pim sudah besar, tingginya bahkan hampir sama dengan Gun. Dia tidak pernah mengeluh dan selalu menjaga Nenek dengan baik selagi Gun bekerja. Mae, kami baik-baik saja di sini."

"Gun datang cuma untuk bercerita sedikit, karena Gun masih ada jadwal syuting. Gun..." Air matanya jatuh begitu saja.

Cukup lama Gun termenung di sana, masih dengan air mata yang perlahan-lahan terus jatuh membasahi pipi putihnya. Gun membuka kacamata dan menangis terisak, meluapkan semua masalah yang ditanggungnya selama ini. Rasanya menyakitkan, dia bahkan tidak ingin menangis di sini. Tapi entah bagaimana, dia bisa menangis sampai terisak seorang diri terlebih lagi di depan makam Ibunya.

"Gun," suara yang sangat dikenalinya, suara yang menemaninya tujuh tahun belakangan ini, memanggil namanya dan membuat jantung Gun berpacu dengan cepat.

Dia tidak mengharapkan apa-apa, sama sekali tidak mengharapkan kehadiran pria itu. Tapi di ujung sana, berdiri dari kejauhan sosok yang sangat dikenalinya. Berdiri dengan pakaian serba hitam, serta topi dan masker yang menutupi hampir seluruh keberadaannya.

"Semuanya akan baik-baik saja Gun," teriaknya dari kejauhan dan menghampiri Gun dengan setengah berlari.

Kalimat itu, kata-kata yang selalu diucapkan Off apabila ia sedang terkena masalah, namun ketika kalimat itu diucapkannya untuk saat ini membuat pertahanan Gun ambruk sepenuhnya. Dia menangis sesenggukan sampai mengeluarkan suara seperti tikus kejepit yang bahkan ia sendiri benci mendengarnya. Terlalu banyak air mata yang dikeluarkannya untuk pria itu dan sebanyak itu pula perasaannya yang tersakiti karena pria yang sama.

"Aku sudah melarangmu untuk ke sini sebelumnya, setiap kali kamu ke sini kamu pasti akan menangis," oceh Off dengan tangan yang menghapus air mata Gun dengan lembut.

"Berkali-kali aku memperingatkanmu Gun, jangan datang ke sini ketika kamu sedang ada masalah. Kamu hanya akan menangis," dia tetap mengoceh.

Suara tangisan Gun semakin kencang, dia menangis seperti anak kecil dan itu tanpa sadar membuat Off menyeringai kecil.

"Umurmu berapa Gun? Jangan menangis seperti ini," ucapnya yang panik setelahnya karena tangisan Gun yang tidak kunjung  berhenti.

Off menarik tubuh Gun dan memeluknya, tidak ada yang bisa dilakukannya selain ini sekarang. Yang Gun butuhkan bukan kata-kata penghibur hanya seorang pendengar, setiap kali ada masalah hanya itu yang pria itu butuhkan. Cukup lama mereka dalam posisi berpelukan dan Off baru melepaskannya saat Gun benar-benar sudah berhenti menangis.

Love and Tears (Offgun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang