4. Perundungan yang Biasa (?)

296 83 64
                                    

"Orang-orang mengeluarkan kata-kata kejam untuk menghancurkanmu, tapi kau memiliki kekuatan untuk tidak mengubah kata itu menjadi sebuah pisau dan memotong dirimu sendiri."

― Rupi Kaur

Aku dan Rosa berakhir di kursi kayu kosong di halaman belakang gedung sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan Rosa berakhir di kursi kayu kosong di halaman belakang gedung sekolah. Pemandangan yang disajikan adalah berbagai jenis tanaman herbal yang terawat dengan baik. Cukup menenangkan, karena suplai oksigen dari tanaman-tanaman itu memanjakan paru-paru.

Kulirik Rosa yang berkali-kali memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam, bibirnya membentuk sebuah senyuman. Melihat ia di sampingku saat ini membuatku seketika lupa dengan kejadian yang terjadi beberapa menit lalu di dalam kelas. Aku senang, Rosa sepertinya enggan membicarakan hal itu karena tidak mau membuatku kembali kesal.

"Eh, Sa, ingat enggak waktu kita SMP kelas satu? Kita sering banget ke rumah Pak Bahrul yang rumahnya nempel sama gedung sekolah buat minta daun sirih buat mandi?" ucapku memulai pembicaraan.

Rosa membuka matanya lalu menatapku penuh selidik, aku tahu arti tatapan itu. Ia sedang memeriksa kondisiku saat ini tanpa memberiku pertanyaan.

"Ha ha ha ha ... Ingat, Bell! Ya ampun, yang ngide buat minta daun sirih kan gue! Enak banget ya punya halaman rumah kayak rumah Pak Bahrul. Jadi kangen sama Bu Sri, istri Pak Bahrul yang sering buatin kita makanan gara-gara kita terlalu keseringan ke sana," Rosa tertawa. Matanya kembali menatap ke arah taman lalu menerawang. Aku sadar, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang lain.

"Kamu baik-baik saja, Sa?"

Rosa menatapku lalu menggenggam tanganku. "Bell, lo ingetin gue sama rumah Pak Bahrul. Gue kan jadi inget sama waktu pertama kali gue jadi suka sama Kaivan."

"Ah yang waktu itu."

Aku sedikit kecewa, di waktu seperti ini, pikirannya masih tak bisa jauh dari Kaivan seakan laki-laki itu sudah mengisi seluruh bilik di dalam otaknya. Kaivan lagi dan selalu Kaivan. Meski begitu, aku tetap tersenyum dan menunggu cerita Rosa yang sudah kuhafal itu. Bagian di mana Rosa mulai jatuh cinta pada Kaivan.

"Kaivan tuh anaknya care banget ya, Bell? Gemes banget gue kalo ingat itu. Padahal waktu itu gue cuma jatuh gara-gara rok gue nyangkut di pagar rumah Pak Bahrul. Tapi Kaivan gercep banget kasih pertolongan pertama buat luka di lutut gue. Gue masih inget bener dia bilang apa waktu itu ...."

Lo cewek, Sa. Hati-hati, luka kayak gini bisa bekas loh.

"Lo cewek, Sa. Hati-hati, luka kayak gini bisa bekas loh!"

Aku tersenyum saat bisa menebak dengan tepat apa yang akan diucapkan oleh Rosa. Saking hafalnya aku dengan cerita itu, aku bahkan bisa menceritakannya ke semua orang tanpa salah satu kata pun. Tapi aku bukan orang seperti itu. Lagi pula, mau cerita kepada siapa? Aku tidak punya tempat lain untuk bercerita selain Rosa.

My SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang