Pernah dengar yang namanya cinta monyet?
Iya, yang katanya banyak dirasakan oleh anak-anak SMP yang baru menginjak masa pubertas. Yang mudah tertarik pada lawan jenis, yang mudah menarik lawan jenis. Makeup, tatanan rambut nyentrik, parfum berlebihan, gaya foto yang terlihat "keren" di mata mereka. Masa-masa menginjak dewasa yang menyenangkan. Tidak peduli apakah itu benar-benar perasaan suka, atau hanya sekadar tertarik, yang penting nyatakan dulu perasaan mu.
Aku juga seperti itu ngomong-ngomong. Di usiaku yang baru 14 tahun, duduk di bangku kelas dua SMP rasanya menjadi pribadi yang keren. Kalau salah skala status, aku berada di tengah-tengah. Punya adik kelas dan juga kakak kelas, mungkin dalam dunia game aku punya cukup power untuk mengatur namun juga punya cukup power untuk tunduk. Intinya menginjakan kaki di jenjang kedua rasanya begitu menyenangkan.
Ketika berjalan ke kantin, kalian tidak perlu lagi menundukkan kepala saat bertemu kakak kelas. Berjalan tegak, lurus kedepan, dengan kepala terangkat. Mungkin tambahan backsound Taylor Swift mampu menambah kesan "keren" dari diri yang tengah menempuh pubertas ini.
Ngomong-ngomong, sekolah sudah dimulai selama dua hari ini. Hal lain yang paling menyenangkan menginjak di jenjang kedua pendidikan adalah saat kalian melihat adik kelas yang harus dijemur ditengah lapangan sambil melakukan masa orientasi sekolah. Dari ruang kelas yang posisinya lebih tinggi, aku menopang dagu. Mengulas senyum tipis sok keren saat memperhatikan mereka yang berkeringat dibawah sana, sedangkan aku aman karena AC kelas yang menyala.
Dulu aku juga di posisi mereka. Ketika mendongak keatas, yang kulihat adalah tatapan sombong dan mengejek dari kakak kelas yang terlihat puas kami dijemur siang-siang sambil mendengarkan petuah kepala sekolah yang hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, alias memuakan. Dan sekarang aku mengerti rasa puas itu ketika melihat adik-adik kelas yang berada di tengah lapangan.
Kembali pada pernyataan cinta monyet. Sama seperti kebanyakan remaja perempuan di Indonesia yang memang mudah tertarik dengan lawan jenis di masa pubertas mereka, apalagi jika si lawan jenis berpenampilan menarik dengan rambut ber-pomade yang disisir apik atau dibuat menjadi rambut jabrik. Oh, kerennya.Aku juga pernah merasa tertarik seperti itu, pada Ardana dari kelas sebelah. Maksudnya siapa yang tidak tertarik pada si murid paling sopan se-smp Kartika, yang kesopanannya patut diacungi jempol. Mungkin, Ardana adalah satu-satunya siswa di sekolah ini yang menggunakan seragam sesuai ketentuannya. Sekelas Andika anak OSIS saja tidak menggunakan seragamnya dengan benar, malahan pria aneh itu sekarang sibuk mengoceh mengenai peraturan sekolah.
"Tahu tidak, anak kelas satu ada yang pingsan lagi hari ini."
Perkataan Geri yang berada disebelahku mengganggu konsentrasi ku untuk
"mari terlihat sombong dari atas sini".
Aku menoleh sambil menyandarkan punggung, menatap Geri sedikit malas karena pria yang dikenal sebagai "pelawak" kelas itu tengah sibuk mengunyah Chiki lima ratusan hasil titipannya pada Anna.
"Bukanya sudah biasa?"
"Kali ini berbeda." Balasnya.
"Ada 'hero' disini."
"Anak pmr ya?"
"Bukan."
"Ketua OSIS?"
"Bukan juga."
"Lalu?"
"Siswa baru."
Dahiku mengernyit bingung. "Maksutnya?"
Dengan sekali suapan, Geri menelan potongan chiki terakhirnya. "Ada yang pingsan, siswa baru perempuan. Lalu siswa baru laki-laki menolongnya, keren tau kalau kau lihat. Aku ada videonya."
Meskipun tidak terlalu penasaran, aku tetap meminta Geri untuk menunjukan video detik-detik penyelamatan siswa baru yang pingsan yang dilakukan oleh siswa baru lainnya. Kalimat yang keren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up
Teen Fiction"mereka tumbuh dari cinta anak-anak yang terdengar konyol, menjejajaki tangga kedewasaan, hingga akhirnya kembali bergandengan tangan"