Membaca catatan kecilnya sebelum berangkat sekolah, Aria dibuat termenung mengingat kelakuannya selama empat hari yang lalu. Bagaimana ia menyapa Arian didepan teman-temannya, bersikap tidak berlebihan, berbicara dengan kosa kata yang baik, dan yang terakhir....jadi diri sendiri.
Selama empat hari terakhir ini, Aria benar-benar tidak menjadi dirinya sendiri. Mungkin, karena itulah juga di hari Kamis sore, saat semua orang hendak pulang.Rian mencegahnya untuk pulang terlebih dahulu dan bertanya ada apa dengan dirinya. Kata Abi, empat cara yang ia katakan diawal adalah cara mu untuk membangun dirimu yang lain, bukan untuk mengembangkan diri. Abi juga bilang, kamu mau menari perhatian Arian dengan dirimu yang mana.
Panggilan Abi yang memintanya untuk segera turun mengejutkan Aria, membuat bocah 14 tahun itu memasukkan catatannya dan melangkah pergi dari rumah. Begitu tiba di sekolah, yang pertama kali menyapanya adalah rasa penasaran dari teman-teman sekelasnya, yang mungkin berpikir sifat aneh apalagi yang akan ditunjukkan ria hari ini. Maka tanpa membalas salam dari siapapun, Aria duduk di bangkunya dan memilih untuk menelusupkan kepalanya diantara lipatan tangannya.—-
Hari itu berjalan seperti biasanya, hingga di saat jam istirahat kedua, sosok Arian muncul untuk menemui Aria. Dan kini menjadi alasan mengapa keduanya duduk bersebelahan di taman sekolah.
"Eum, kak Aria hari ini apa kabar?"
"Baik."
"Aku...minta maaf jika pertanyaan ku kemarin menyinggung kakak."
"Tidak papa."
"Tapi aku serius khawatir kepada kakak, kenapa kakak tiba-tiba berubah sifatnya? Apa ada yang mengganggu kakak?"
Aria menggeleng, sebab justru Arian lah subyek masalahnya.
"Kamu khawatir?"
"Iya, tentu saja."
Senyum kecil Aria ulas dari wajahnya.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu."
"Kamu suka sifat ku yang mana? Yang seperti kemarin, atau yang seperti biasanya."
Ada jeda sejenak diantara keduanya, baru setelah beberapa saat Arian membuka mulutnya. "Aku suka yang biasanya."
"Kenapa?"
"Yang biasanya terasa seperti lebih ke kak Aria, yang kemaren seperti lebih dipaksakan."
"Jadi kamu lebih suka Aria yang barbar, tidak tahu malu, dan pemalas?"
"Iya."
"Kenapa? Padahal aku ingin menjadi lebih baik?"
Arian mengerjapkan matanya bingung, alisnya bertaut, dan wajahnya terlihat tidak setuju dengan pernyataan Aria.
"Kalau menjadi lebih baik sama dengan menjadi orang lain, jadi untuk apa? Memperbaiki diri itu meningkatkan kualitas kan? Artinya tidak perlu merubah semuanya. Kakak bisa tetap bersikap barbar tapi tahu tempat, pemalas tapi rajin, atau berkata
kasar saat hanya sendirian saja. Jadi kenapa kakak empat hari kemarin menjadi aneh gara-gara ingin memperbaiki diri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up
Teen Fiction"mereka tumbuh dari cinta anak-anak yang terdengar konyol, menjejajaki tangga kedewasaan, hingga akhirnya kembali bergandengan tangan"