page 8

2 0 0
                                    

Jadi dengan asal-asalan, Aria berjalan ke arah rak buku, mengambil asal salah satu bukunya, lalu duduk didepan Arian yang mendongak tapi tak lama kembali fokus pada bacaannya.
Yang dilakukan Aria selanjutnya adalah membuka bukunya, tapi tidak membaca isinya. Justru wanita yang lebih muda itu malah menatap Arian dari sela-sela bukunya, mengintip dengan hati-hati agar tidak ketahuan oleh Arian.
Dari jarak yang sedekat ini, ia bisa melihat bagaimana rambut hitam yang dipotong rapi itu bergerak ke kanan dan ke kiri, bagaimana matanya begitu fokus pada bukunya, bagaimana bibirnya di gigit kala membaca sesuatu yang menegangkan, bagaimana dia bergumam sesuatu ketika menemukan pertanyaan.
Dari jarak sedekat ini Aria cukup yakin bahwa Arian tidak lama lagi akan menjadi siswa yang populer. Terlebih lagi rumornya dengan Jessica—murid perempuan yang Arian bantu di awal masa perkenalan, makin menambah pamor pria dihadapannya ini.
"Ngapain?" Suara bisikan Arian yang terkesan tiba-tiba itu mengagetkan Aria, membuat yang lebih tua tanpa sengaja membanting bukunya hingga dihadiahi tatapan tajam dari penghuni perpustakaan.

"Kamu bikin aku kaget."
"Oh, maaf, kak."
"Iya gapapa, tadi kamu tanya apa?"
"Kakak ngapain?"
"Baca buku."
"Kakak suka anatomi?"
"Hah?" Nilai biologinya saja tidak pernah lebih dari KKM, mana mungkin Aria suka dengan pelajaran yang rumit itu.
"Aku nggak suka sains."
"Tapi itu buku tentang anatomi."

Aria mengerjap, sedetik kemudian merutuki kebodohannya yang tidak menyadari buku apa yang ia ambil.

"Ah, aku salah ambil buku tadi."
"Aku kira kakak suka anatomi."
"Kamu suka?"
"Nggak juga, aku Cuma tertarik saja."
"Itu jauh lebih baik." Balasnya.
"Aku bahkan nggak tertarik sedikitpun dengan anatomi dan teman-temannya. Terlalu rumit."
"Kalau kakak paham, tidak serumit itu kok."
"Iya, sayangnya aku nggak paham."
Ada jeda sebentar diantara keduanya, sebelum Arian kembali membuka mulutnya.
"Kalau begitu kakak tertarik denganku, ya?"
Wah, kalau saja Aria tidak ingat dia sedang berada di perpustakaan, mungkin Aria sudah berteriak sekarang. Lagipula siapa yang tidak terkejut ketika mendengar pertanyaan yang terkesan tiba-tiba itu, dia saja hampir merasakan jantungnya pindah ke paru-paru.

"Gimana?"
"Kakak tertarik sama aku?"
"Kok kamu mikir gitu?"
"Kakak melototin aku daritadi."
"Aku nggak melototin kamu, aku Cuma ngeliatin kam—"
Ahh, jadi begini rasanya masuk dalam jebakan tikus. Dengan cepat Aria membekap mulutnya sendiri, menghindari kontak mata dengan Arian yang tersenyum kecil.
"Oh, jadi aku dilihatin dari tadi."
"Aku..nggak selalu ngelihatin kamu. Cuma tadi aku, itu, penasaran kok bisa alisnya tebal banget." Mungkin ini adalah alasan terbaik yang bisa Aria buat untuk saat ini.
"Genetic."
"Oh." Aria mengangguk pelan, masih berusaha menghindari tatapan Arian. Terlebih lagi ketika yang lebih muda menatapnya intens. "Anu, kamu nggak kembali ke lapangan? Lima menit lagi jam istirahat kedua selesai."
Aria mengalihkan pandangannya ke jam yang ada di dinding perpustakaan, tersenyum kecil, baru kemudian ia berdiri dan mengembalikan buku yang dipinjam. Hanya saja entah kenapa, Aria justru ikut berdiri dan ikut melangkah keluar.
Jadinya sekarang, dua manusia beda tingkat itu berjalan bersebelahan. Untung saja arah ke halaman dan arah ke kelas Aria itu satu tujuan, jadi dia punya alasan untuk berjalan bersebelahan dengan Arian.
Selama perjalanan, dalam hatia ia berdoa agar tidak melakukan sebuah kebodohan. Mungkin tali sepatunya yang lepas atau apa, sebab baginya sudah cukup kisahnya mempermalukan diri didepan Arian hari ini. Sayang seribu sayang, doanya tidak terkabulkan. Dari kejauhan sana Aria bisa melihat Geri yang tersenyum lebar padanya, berbeda dengan Pradipta yang memasang muka lempeng.

Grow UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang