Bungkus batagor yang ada dipangkuan Geri diambil alih oleh Pradipta, membiarkan pria yang tengah sakit itu memakan makanan kesukaannya. Sebagai gantinya ia mengambil cireng dari plastik Aria, memakannya tanpa minta izin terlebih dahulu.
"Jadi kamu beneran pendekatan sama Arian?" Kali ini Pradipta yang bertanya dengan nada yang terdengar lebih serius.
"Aku masih nggak paham apa menariknya dia?"
"Sama." Geri membalas.
"Kalau Ardana, aku mungkin masih mengerti kenapa kamu suka sama dia. Tapi Arian...dia bagaimana cara aku bilangnya?"
"Terlalu aneh buat kamu suka sama orang yang nggak kamu kenal sebelumnya."
Geri mengangguk setuju.
"Kadang, ngeliat Arian bikin aku mikir. Hal apa yang sih yang bikin kamu tertarik sama dia, lupa aku kalau kamu ini gampang kepincut sama kata- kata manis."
"Dan perbuatan manis." Tambah Pradipta.
Geri menjentikkan jarinya, seolah telah menemukan informasi tambahan yang berguna.
"Dia pasti memujimu atau mengatakan sesuatu hal yang terdengar seperti 'aku ingin menghabiskan waktu bersama mu'"
"Tipikal buaya."
"Yakin, kalau dia bosan kamu pasti ditinggal."
Di nasehati seperti itu tetap tidak menggoyahkan hati Aria untuk membuktikan pada teman-temannya bahwa, Arian tidak seburuk itu. Sekalipun beberapa poin yang dikatakan Geri dan Pradipta benar, bukan berarti mereka bisa menilai Rian seenaknya. Apalagi bocah SMP yang lebih muda darinya itu telah banyak membantunya."Tapi aku serius dengan dia, dia treat aku secara baik."
Pradipta mendengus mendengar jawaban Aria. "Kalau cuma treat kamu secara baik, aku, Geri, Ardana juga begitu kan?"
"Kok kalian suka banget membandingkan dia dengan Dana?"
"Ya karena emang beda." Geri mengangkat bahunya acuh.
"Ardana sekali lihat juga kelihatan sebagai cowok baik-baik, Arian? Tidak ada yang tahu kan."
"Kamu juga nggak tau, jadi jangan bicara sembarangan tentangnya." Bisik Aria kesal. "lagian kalian kenapa sih? Segitunya nggak mau aku dekat dengan Rian?"
"Anggap saja kita berusaha menyelamatkan Rian dari wanita seperti mu." Ucap Geri sambil tersenyum sok sedih.
"Kau barbar begitu, mana tahan dia."
"Apalagi sisi wanitamu muncul kalau berhadapan dengan Arian saja."
"Benar-benar." Geri menyahut.
"Ei, aku bercanda. Jangan memasang wajah kesal seperti itu dong."
"Gimana aku nggak kesal kalau kalian selalu berbicara seperti itu?!"
"Iya...iya maaf, janji ini yang terakhir." Balas Pradipta yang terdengar tidak peduli.
"Kalau memang serius, coba kamu juga maju pendekatan. Jangan hanya menunggu dia saja yang bergerak."
"Atau," Geri menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Perlihatkan pada kami jika Arian memang tidak seperti yang kami pikirkan."Merasa ditantang dengan perkataan kedua temannya, Aria mengangguk semangat. Alisnya yang tebal itu mengerut, terlihat seperti menyatu. Tangannya mengepal, memamerkan rasa semangatnya yang terpicu atas kelakuan dua temannya.
"Akan aku tunjukan kalau kalian berdua salah. Dan setelah itu, kalian harus janii untuk berhenti membandingkan Rian dengan Dana."
"Deal." Balas Pradipta dan Geri serentak.
Sore itu, ditutup dengan canda tawa dari ketiga sahabat yang tidak mengetahui bagaimana jalannya dunia bekerja. Pun tentang Aria dan Arian.Terkadang, yang Aria lupakan adalah pria itu memiliki insting yang sama seperti wanita. Maka, selain alasan keduanya memang menaruh rasa pada Aria, keduanya tak ingin meragukan instingnya yang mengatakan sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up
Teen Fiction"mereka tumbuh dari cinta anak-anak yang terdengar konyol, menjejajaki tangga kedewasaan, hingga akhirnya kembali bergandengan tangan"