"Kak ria?"
Tidak ada jawaban dari wanita itu. "Kak ria, ngelamun ya?"
Masih tidak ada jawaban.
"Kak?"
Aria masih terlampau fokus pada pikiran negatifnya, hingga tak menyadari plang lampu merah yang hanya berjarak sekian senti dengan wajah ayunya itu. Andai kata Arian tidak menarik lengannya hingga mengorbankan sepeda kayuh Aria yang terlempar begitu saja, sudah bisa dipastikan besok saat masuk sekolah Wajah Aria penuh dengan luka memar.
"Hati-hati!"
Oh, hampir saja.
"Hah?"
"Kakak kalau jalan lihat-lihat dong, hampir nabrak kan?!" Bentaknya agak kasar.
"Oh."
"Oh? Kakak hampir nabrak loh, kalau mau melamun jangan dijalan, bahaya!" Senyum kikuk terpasang di wajah manis wanita itu. "maaf ya dan terima kasih.""Lain kali tolong hati-hati" balas yang lebih muda sambil membantu mengangkat sepeda yang tadinya terlempar mengenaskan begitu saja.
Kemudian dua bocah SMP itu kembali berjalan bersisian, kali ini dengan Aria yang berceloteh mengenai kehidupan SMP-nya dan Arian yang beberapa kali menimpali dengan candaan-candaan lucu yang membuat wanita 14 tahun itu tertawa gemas. Tanpa menyadari bahwa tujuan mereka telah sampai.
Terhitung satu minggu semenjak Aria dan Arian pulang bersama, setelahnya dua bocah SMP yang statusnya masih belum jelas itu kembali sering bertemu baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan sekitar rumah keduanya. Tidak jarang keduanya duduk bersisian di kursi kantin atau kursi santai yang ada di taman, atau mengunjungi kelas satu sama lain hanya untuk menitipkan barang yang dibeli dari kantin. Dan selama satu Minggu itu juga, kesehatan Pradipta semakin membaik. Jadi setelah melewati beberapa tahap, bocah yang dinyatakan patah tulang itu diperbolehkan pulang ke rumah.
Dan di hari Jumat inilah, saat jam pelajaran geografi selesai—Geri menarik lengan Aria untuk ikut datang ke rumah Pradipta berbekal jajanan sekolah yang mereka beli seadanya. Kali ini tanpa Arian, mengingat pria itu masih kelas 1 SMP yang mana wajib mengikuti kegiatan Pramuka setiap hari Jumat.
Begitu keduanya sampai di rumah Pradipta yang sederhana itu, interior nya masihlah tetap sama seperti yang mereka lihat beberapa hari sebelumnya. Tv dengan pigura berisikan foto keluarga itu masih ada, lengkap dengan taplak meja yang menghiasinya. Piano tua yang bersandingan dengan gitar tua milik ayah Pradipta pun masih teronggok di tempat yang sama, pun dengan sofa hijau kesukaan mereka.
Dan seperti biasa, setiap kali datang ke rumah pradipta, Bunda pasti akan memasarkan singkong goreng untuk dua teman putranya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up
Teen Fiction"mereka tumbuh dari cinta anak-anak yang terdengar konyol, menjejajaki tangga kedewasaan, hingga akhirnya kembali bergandengan tangan"