Setelah menunjukkan kartu siswanya, Aria menelusuri setiap lorong perpustakaan. Mencari tempat-tempat yang tidak ramai untuknya beristirahat, tapi, seperti pada film romansa yang pernah ia lihat. Adegan dimana tokoh utama perempuan dan laki-laki bertemu secara klise di perpustakaan, kemudian buku itu terjatuh, saling membantu namun justru tak sengaja menggenggam tangan masing-masing.
Aria yang masih diam terpaku di tempatnya mengerjapkan matanya. Dia pernah merasakan detakan jantung yang cepat ini beberapa bulan yang lalu, ketika dia dan Ardana masih berstatus sebagai kekasih. Rasanya sama, hanya saja yang kali ini ada sedikit sensasi yang berbeda.
"Arian?" Ia berbisik pelan, bahkan pikirnya hanya dirinya sendiri yang mendengar suaranya. Tapi siapa yang mengira Arian justru mendongakkan kepalanya, menatap Aria dengan tatapan yang tidak dapat wanita itu artikan.
"Oh." Arian mengulas senyum kecil.
"Selamat siang, kak."
"Siang."
"Tidak makan siang?"
"Aku...ada buku yang harus aku cari." Memang fungsi otaknya tidak dapat bekerja dengan baik ketika ia terlalu gugup.
"Kamu? Bukanya masih masa perkenalan sekolah?"
"Sedang istirahat, lalu aku dengar disini ada beberapa buku komik sekolah."
Meskipun sekolah mereka masih termasuk sekolah menengah, tapi eskul jurnalistik mereka bisa dibilang cukup maju hingga sering menerbitkan karya-karya yang diikut sertakan perlombaan. Salah satunya ada Manga book—sebutan bagi komik sekolah hasil karya tim jurnalistik.
Biasanya Manga Book berisi dengan cerita pulang sekolah, atau cerita cinta anak remaja. Tapi tidak sedikit juga Manga book menampilkan tips n trick seperti skincare atau make up, atau rekomendasi film yang dikemas dalam gambar.
"Oh, Manga book, ya. Aku juga suka baca itu." "Oh namanya Manga book?" Aria mengangguk.
"Iya, aku juga kurang tau kenapa diberi nama itu. Anak jurnalis yang memberikannya."
"Kak Aria anak jurnalis?" Aria menggeleng dengan cepat.
"Bukan, aku bukan anak jurnalis. Aku bahkan nggak ikut eskul apa-apa. Pikirnya, hancur sudah imagenya di depan calon gebetan.
"Kenapa?"
"Oh iya, kenapa?"
"Malas." Selamat Aria, kamu baru saja semakin menghancurkan imagemu. Tapi sepertinya Aria rela jika harus kembali menghancurkan imagenya, karena Arian justru balas terkekeh geli mendengarnya.
"Itu nggak lucu."
"Iya, aku tau. Spontan aja."
"Kamu udah kepikiran buat gabung ekskul?'' Balasnya.
"Antara sepak bola dan basket."
"Wah basket, keren. Sayangnya basket sekolah kita kurang maju setelah ketuanya ganti."
"Makanya aku mau jadi anak basket, terus jadi kaptennya, biar bisa makin memajukan kualitas basket sekolahan."
Mendengar jawaban Arian, rasa-rasanya Aria agak sedikit insecure.
"Aku..doakan kamu bisa ya."
"Terima kasih kak, jadi kakak kesini mau cari buku apa?"
Lagi-lagi otaknya dibuat kacau dengan pertanyaan yang tiba-tiba, lagipula niat Aria kesini kan untuk tidur, bukan membaca. Kalau dia berbicara jujur, apa mungkin Arian akan tertawa atau justru memandangnya ilfil seperti yang kemarin terjadi.
Ahh, sekarang Aria baru ingat mengenai kejadian kemarin. "Rian." Aria masih berbicara dengan pelan.
"Aku minta maaf ya."
Satu alis yang lebih muda terangkat, memandang bingung pada wanita yang lebih tua.
"Kenapa?"
"Tentang yang kemarin, aku bikin kamu nggak nyaman."
Ekspresi Arian berubah, seolah tengah menggali memorinya tentang kejadian yang dimaksud Aria. Baru setelah Aria memberi sedikit petunjuk mengenai kejadian di warung, Arian baru ingat maksud perkataan yang lebih tua."Oh tentang itu, kakak nggak salah apa-apa kok. Maaf ya kalau ekspresi ku bikin kakak salah paham."
Sebentar, jadi setelah semalaman Aria galau karena takut bahwa Arian tidak nyaman dan ilfil padanya, pria itu bahkan tidak mengingatnya? Aria ingin marah, tapi itu bukan kesalahan Arian. Jadi setelah Arian mengucapkan jawabannya, Aria berpamitan untuk mencari tempat tidurnya.
Tapi memang rencana Tuhan itu tidak dapat diprediksi, semua kursi yang ada di pojok sudah penuh. Hanya tersisa kursi yang berada di tengah, yang artinya antara ia harus duduk disamping Arian atau dihadapan Arian. Baik keduanya bukanlah keputusan yang menyenangkan.Sekarang Aria dibuat bingung, haruskah ia keluar dari perpustakaan atau mengambil sembarang buku untuk dibaca dan menghabiskan waktu. Mungkin jika Aria terjebak bersama Geri dan Pradipta ia akan memilih opsi nomor satu, tidur dikelas lebih baik daripada menghabiskan waktu dengan dua temannya itu. Tapi sekarang penawarannya itu adalah Aria, dia bisa saja menggunakan kesempatan ini untuk membuat image baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up
Teen Fiction"mereka tumbuh dari cinta anak-anak yang terdengar konyol, menjejajaki tangga kedewasaan, hingga akhirnya kembali bergandengan tangan"