Daripada Pradipta yang lebih sabar, Geri itu orangnya memang mudah untuk dipancing amarahnya. Jadi bukan suatu hal yang mengejutkan lagi ketika aku selesai berbicara dan Geri
sudah melotot menyeramkan, meski dalam hati aku berdoa agar bola matanya tidak keluar dan ia menjadi buta dini.
"Baik-baik, tenang.
" Sela Pradipta. "Aku akan menjawab pertanyaan Geri, jadi dengarkan dengan tenang."
Bak anak ayam yang menuruti induknya, aku dan Geri merubah posisi untuk duduk se-formal mungkin. Sudah mengalahi duduk formal kami ketika Pramuka di sekolah.
"Kalau menurut pengamatanku, anaknya cukup tegas untuk usia yang baru masuk masa pubertas. Suaranya sedikit berat namun sedikit cempreng, mungkin masih dalam pertumbuhan jadi belum sempurna. Tubuhnya tinggi kurus, tapi aku bisa lihat beberapa otot baru dibalik bajunya. Dan yang jelas, dia wangi."
"Waw." Geri berdecak kagum.
"Sangat amat menggambarkan tipemu, ya? Aria."
Disindir seperti itu rasanya aku ingin sekali melayankan pukulan dahsyat ke pipi Geri yang makin terlihat berisi itu. "Hanya itu? Tidak ada lagi?"
"Anaknya juga kurasa cukup mengerti dunia kesehatan, ia tau apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang pingsan. Waktu ku tanya, ternyata kedua orangtuanya adalah seorang dokter."
"Kesimpulannya dia tinggi, wangi, dan kaya. Aria, ini saatnya kau maju dan tunjukan pesona mu."
"Tutup mulutmu jika kau tidak ingin kehilangan gigimu." Balasku mengancam Geri yang menelan ludahnya kasar. Lagipula, begini-begini aku ini anak karate yang sudah dilatih dari kecil demi memajuka Dojo bapak yang makin kesini makin sepi.
"Ngomong-ngomong, siapa nama si pahlawan itu? Memanggilnya pahlawan sedikit membuatku merasa menjadi seorang wibu." Ujarku sambil melirik Geri yang tidak terima dipanggil wibu.
"Hehehe." Bukannya menjawab, Pradipta justru tertawa aneh ketika mendengar pertanyaan ku. Bahkan ekspresi tenangnya pun ikut menjadi ekspresi menyebalkan khas Pradipta ketika pria itu menjadi usil. "Namanya hampir mirip dengan mu, loh."
"Hah?"
"Tinggal tambahkan satu suku kata saja sudah menjawab pertanyaan mu."
"Satu suku kata?"
"N. Namanya Arian, panggilannya Rian."
Mungkin selain jawaban Pradipta, gebrakan meja yang cukup alay dari Geri ikut membuat ku sedikit terkejut. Anehnya, entah kenapa aku tidak peduli dengan teriakan Geri yang mengundang perhatian anak kelas saat mendengar nama yang Pradipta katakan. Justru sekarang aku sibuk mendiamkan jantung ku yang tiba-tiba berdetak dengan cepat.
Kata orang, cinta monyet itu hanyalah sebatas ketertarikan semata yang menyerah anak-anak smp yang masih bodoh dalam percintaan. Namun sekalipun aku adalah anak smp bodoh itu, aku tidak bodoh untuk menyadari aku tertarik dengan Arian hanya karena namanya.
Lagipula, jatuh cinta itu memang selalu dengan cara yang aneh, bukan?***
Sisa hariku setelahnya, entah mengapa terasa lebih melelahkan. Dari aku yang harus membekap mulut Geri, kemudian menjelaskan kesalahan pahaman oleh beberapa teman sekelas yang mengucapkan selamat karena katanya, "akhirnya Aria bisa move-on dari Ardana."
Energi ku rasanya sudah hampir habis untuk hari ini, dapat dipastikan aku akan tidur dengan nyenyak malam ini.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu, tapi aku masih setiap berdiri di depan gerbang sekolah sambil memeluk helm sejuta umat yang berawalan "S" itu, sambil menunggu jemputan untuk datang. Ini hari Selasa, artinya yang menjemput ku hari ini seharusnya adalah kakak tertuaku yang kebetulan masih menganggur. Tapi batinku bertanya-tanya, mengapa orang dengan rambut gondrong itu belum terlihat batang hidungnya. Sebab biasanya ia sangat tepat waktu untuk menjemput adik bungsunya ini.
Geri dan Pradipta sudah pulang dari tadi kalau kalian penasaran. Karena rumah mereka yang tidak terlalu jauh dari sekolah, jadi mereka berdua selalu berangkat dan pulang dengan sepeda ontel dengan stiker anime di beberapa body sepeda. Biar aku beritahu, selain Geri, Pradipta itu juga seorang wibu dengan level yang masih rendah. Berbeda dengan Geri yang kalau kalian masuk ke kamarnya ada standee tokoh anime yang tidak aku ketahui namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up
Подростковая литература"mereka tumbuh dari cinta anak-anak yang terdengar konyol, menjejajaki tangga kedewasaan, hingga akhirnya kembali bergandengan tangan"