page 4

6 0 0
                                    

Lima menit berganti menjadi sepuluh menit, dan Abang (sebutanku padanya) belum juga menunjukkan batang hidungnya. Sepuluh menit berganti menjadi dua puluh menit, sekolah menjadi lebih sepi. Dan di tiga puluh menit pertama, aku benar-benar menjadi sendirian tanpa seorang satpam. Aku dengar dari salah satu teman, satpam sekolah ini sedang demam. Aku sendiri tidak tau mengapa penggantinya yang sering tersenyum mesum itu tidak ada.
Manusia itu memang diberi kesabaran yang melimpah, tapi menunggu selama tiga puluh menit tanpa kepastian dan rasa lelah itu bukanlah hal yang menyenangkan. Ingin rasanya aku masuk ke pos satpam dan meminjam telpon seperti biasanya apabila jemputan telat datang, namun enggan rasanya ketika tidak ada satupun yang menjaga disana.
Lelah menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat di warung depan sekolah yang untung saja masih buka. Ibu selalu bilang untuk tidak jajan sembarangan, terutama jajanan mengandun gula buatan seperti yang ada di display minuman dingin itu. Tapi aku sudah terlalu lelah hingga membuka pintu kulkas terlalu cepat, mengambil segelas minuman dingin, dan membayarnya.
Duduk di kursi panjang yang ada di depan sambil menunggu Abang adalah kegiatan ku selanjutnya. Namun hingga jam sudah menunjukkan angka lima kurang lima belas menit terlewat, Abang masih belum juga menunjukkan batang hidungnya. Dan pada saat itulah rasanya aku bak tokoh utama perempuan dalam sebuah film romansa klise yang sering ditonton ibu atau mbak dirumah.
Dari kejauhan, aku bisa melihat seorang pria dengan topi hitam dan kaus hijau army. Berjalan tergesa-gesa menuju ke arah warung.
Pria ini sesuai dengan deskripsi Pradipta siang tadi. Tinggi, kurus, suaranya berat tapi cempreng, dan wangi. Wanginya sama seperti parfum Axe kopi milik Abang, yang biasanya aku komentari karena terlalu menyengat. Tapi untuk momen ini, aku rela membuka lebar-lebar hidungku agar menghirup semua baunya.
"Eh, dek Rian mau beli apa." Si ibu penjual menyapa ramah.
"Kok terburu-buru begitu?
"Saya mau beli garam Bu, soalnya mama sedang masak sop dan sudah hampir matang tapi lupa memasukan garam."
Sambil terkekeh, si ibu berbalik untuk mengambil garam dari tokonya. "Seperti biasa ya, mamamu selalu ceroboh."
"Untung saja sopnya belum dihidangkan, aku jadi tidak bisa membayangkan rasanya."
"Hambar pasti, hahaha. Lima ribu ya totalnya."
Dari sudut mataku (aku tidak mengintip, aku hanya tanpa sengaja melihat semuanya dari sudut mata ini), aku bisa melihat Arian menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepada si ibu. Oh, saat-saat seperti inilah aku berharap si ibu tidak punya kembalian—

Grow UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang