18. Darah di Kakinya

777 46 9
                                    

Junior datang ke tempat Mahes. Dia kelihatan tergesa-gesa, juga raut wajahnya tidak tampak seperti biasa.

"Kak Jun, kenapa?"

Junior juga bingung kenapa. Barusan dia mengobrol dengan Yugo. Soal kakaknya yang nanti akan membawa Mahes pergi dan tidak tahu kenapa perasaannya seperti berat. Junior merasa, Yugo tidak akan bisa menjaga Mahes.

"Mahes, kalau gue punya pilihan untuk lo, kira-kira apa yang akan kamu pilih?"

Maheswari, masih tidak paham dengan apa yang sedang dibicarakan Junior saat ini. "Maksudnya gimana, Kak?"

Junior duduk di bangku teras. Pertama yang dia katakan adalah soal kondisi mereka saat ini. "Keluarga gue pasti sudah tahu kalau lo ada di sini dengan gue."

Mahes tersenyum getir. "Kak Jun kena masalah?"

"Nggak, bukan gue yang kena masalah tapi lo."

"Aku memang sudah punya banyak masalah. Jadi, nggak perlu takut lagi."

Junior menghela napas. "Lo nggak bisa sok kuat begini, urusan dengan Yugo atau mama itu nggak akan semudah yang lo pikir."

Mahes mengangguk perlahan. "Aku tahu, makanya aku nggak mau banyak pikiran. Apa pun itu, aku akan usaha untuk bisa hadapi sendiri."

Junior tidak sependapat soal itu. "Yang lo harus tanggal soal keluarga gue adalah mama bukan orang yang gampang kasihan apalagi luluh dengan orang lain. Kalau dia sudah berencana itu nggak akan mungkin bisa diubah. Sementara Yugo adalah orang yang paling menyanjung harga dirinya."

Mahes tahu soal ini semua. Sejak awal kedua orang itu yang paling tidak simpatik dengannya. Bahkan, kejadian antara dia dan Yugo pun semua didasari karena yoga yang tidak sadar.

"Aku bisa urus sendiri, Kak."

"Lo nggak bisa."

"Aku bisa." Mahes masih kukuh pada pendiriannya. "Jauh sebelum aku tinggal dengan keluarga kalian, aku sudah biasa hidup susah. Kalau cuma masalah seperti ini, aku tahu gimana menghadapinya."

"Gue tahu lo depresi dalam hal ini." Malah Junior berpikir Mahes bisa saja tiba-tiba nekat menyakiti diri atau membahayakan janin dalam kandungannya. "Lo nggak bisa sendiri."

"Aku nggak mau nyusahin siapa-siapa lagi. Cukup Pak Dibja yang sudah aku susah kan karena masalah ini."

Junior pikir ini belum waktunya untuk bicara pada Mahes. Dia masih keras kepala, merasa dirinya bisa menyelesaikan masalah sendiri tanpa bantuan orang lain.

"Ya udah lupain aja." Junior angkat bokong dari kursi.

"Makanan stok hari ini masih ada, 'kan, di rumah?"

"Masih." Mahes bahkan belum menghabiskan setengahnya. Sepertinya kalau dilihat dari jumlahnya yang begitu banyak itu bisa dihabiskan dalam jangka waktu dua atau tiga hari ke depan. Apalagi, kondisi Mahes saat ini mulai tidak enak makan apa-apa.

"Gue mau pergi, ada jadwal kuliah Sekalian nanti ada latihan dengan teman-teman." Iya semoga saja selalu dia pergi lahir tidak berbuat macam-macam yang bisa membahayakannya.

"Kak Jun nanti bakal ke sini lagi?"

"Kenapa memangnya?"

Sebenarnya Mahes sedikit ragu untuk mengatakan. Tapi, kalau bukan minta bantuan Junior, siapa lagi yang akan dia minta tolong.

"A-ku, boleh minta tolong?"

"Boleh. lo mau minta apa?"

Gadis berkulit kuning langsat tersebut menjalin jemari. Meski malu-malu akhirnya dia mengatakan apa yang dibutuhkannya.

MaheswariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang