Bojonegoro, 1925
Hardi tengah menulis di halaman belakang sambil menikmati secangkir teh dan kue poffertjes kesukaannya.
Tulisan ini akan Hardi sampaikan kepada Bapak untuk dicetak di surat kabar Batavia. Dengan mengkritik tentang diskriminasi para perempuan pribumi, karena, menurut Hardi itu adalah tindakan tidak berperikemanusian.
Sementara itu seseorang dari belakang punggungnya telah memperhatiakn Hardi sejak 5 menit yang lalu, kemudian ia melangkahkan kakinya menuju tempat Hardi berada.
"Sedang apa, Hardi?" tanya laki-laki itu.
Mendengar suara yang tak asing segera Hardi membalikkan badannya. Tak disangka orang yang memanggilnya adalah bapaknya sendiri, Raden Mas Aryo Nugroho Suryokusumo yang baru saja pulang.
"Bapak." Hardi segera mengatupkan tangannya di depan hidung. Tatpi Aryo tertarik dengan kertas-kertas yang berserakan di meja.
"Kamu sedang buat apa?" tanya Aryo kepada anaknya.
Hardi segera berbalik menatap kertas-kertas yang selesai ia tulis. Hardi segera mengambil kertanya. Ia ingin memberitahu Bapaknya, izin untuk mengirim surat ini ke surat kabar yang berada di Batavia.
"Nuwun, Pak. Hardi boleh meminta bantuan kepada bapak ?" tanya hardi dengan ragu-ragu. "Hardi ingin mengirim artikel ini ke surat kabar yang berada di Batavia. " Hardi menyerahkan beberapa lembar yang ia tulis kepada Aryo.
Aryo mengambil perlahan Kerta yang di berikan oleh Hardi, ia membacanya dengan seksama. Tetapi bukannya Aryo mendukung, malah sebaliknya. Ia terlihat kesal setelah membaca artikel yang dibuat oleh Hardi.
"Untuk apa kamu menulis ini ?" tanya Aryo dengan nada kesal.
Hardi yang terkejut melihat reaksi Bapaknya. Ke kahwatiran Hardi terjadi, Bpakanya tidak menyetujuinya.
"Kau ingin diasingkan, Hardi?" tanya Aryo dengan nada keras dan membuat Abdi dalem menunduk serta mengatupkan tangannya di depan dan lutunya menyentuh tanah.
"Tidak, Bapak," jawab Hardi dengan nada pelan dan menunduk.
Aryo merobek artikel yang susah payah Hardi tulis. "Ini hanya membuat harga diri keluarga kita jatuh."
Hardi hanya terdiam, ia ingin sekali kesal, marah, dan membantah perintah Bapaknya. Tetapi, tidak ia lakukan, Hardi masih cukup bisa menjaga tata krama bersama Bapaknya.
"Bapak peringatkan kamu ya, jangan sekali-sekali menulis artikel seperti ini lagi," peringat Aryo.
Aryo menghela napasnya pelan dan beranjak pergi meninggalkan teras belakang rumahnya. Abdi dalem itu mengeratkan katupan tangannya di depan hidung dan menunduk.
Hardi yang masih terpatung dengan perlakuan Bapanya barusan, perlahan menteskan air matanya dan di sekanya kembali. Hardi mulai memunguti kertas yang di robek oleh Aryo.
Hatinya begitu teriris, ia tidak menyangka bahwa ayah kandungnya sendiri tidak mendukung keinginannya. Dadanya semakin sesak jika mengingat perkataan yang dilontarkan oleh Aryo membuat luka di hati Hardi.
"Raden," lirih Yu Sumi. Melihat kejadian barusan Yu Sumi sedang berada di dekat Hardi. Yu Sumi ikut merasakan kepedihan Hardi.
"Ndak apa-apa, Yu," jawab Hardi seadanya. "Hardi ndak apa-apa, Yu tidak perlu khawatirkan Hardi."
Betari yang mendengar suara Aryo sampai di dapur, segera ia mencari suara asal itu. Ia melihat Hardi sedang berjongkok memunguti kertas.
"Ada apa, Yu?" tanya Betari kepada Yu Sumi.
Yu Sumi segera mengatupkan tangannya kembali dan berlutut. "Nyuwun pangapunten, Ndoro. Tadi Raden memarahi Raden Hardi."
Betari segera melangkahkan kakinya menuju Hardi yang tengah berjongkok tak bergerak. "Hardi."
Hardi yang mendengar suara Ibunya langsung mendangak. Telihat mata Hardi yang memerah, Betari segera memeluknya.
"Ada apa? Kenapa Bapak bisa marah sama kamu?" tanya Betari menepuk pelan punggung Hardi.
"Hardi hanya ingin meminta bantuan Bapak untuk mengirim artikel ini," jawab Hardi demgan suara seraknya menahan tangisan yang mengiris hatinya.
Betari melijat sekilas serpihan kertas yang berada di tangan Hardi, ia tidak tega dengan kondisi Hardi seperti ini, membuat hatinya juga ikutan perih.
"Nanti Ibu akan bicara dengan Bapak pelan-pelan ya," ucap Betari menenangkan.
Betari melepaskan pelukannya, melihat wajah putranya mengusap sedikit air mata di pelipisnya dan tersenyum. "Raden jangan menangis lagi, Ya?"
Hardi tersenyum dan mengangguk. "Matur sembah nuwun Ibu."
•••
Bojonegoro, 1926
Semenjak Aryo tak suka Hardi menulis, saat itulah Hardi menulis diam-diam agar tidak terlihat. Agar tulisannya tidak lagi di robek atau lebih parahnya di bakar.
Hardi mempersiapkan barangnya untuk kepergian menuju Surabaya, setelah menamatkan pendidikan di ELS kini ia harus melanjutkan pendidikan nya di HBS dan memilih bersekolah di Surabaya.
Alih-alih ingin belajar mandiri justru Hardi ingin bebas untuk menyuarakan keperimanuasiaan serta keadilan dengan pena yang menjadi senjata melawan koloni-koloni berkulit putih yang kejam itu.
"Hati-hati yo disana, " pesan Betari.
"Nggih, Ibu."
"Jangan bertindak yang aneh-aneh," peringat Betari.
"Nggih, Ibu. Hardi akan jaga kepercayaan Ibu," ucap Hardi membuat Betari tersenyum.
Hardi berpamitan dan menaiki Dokar menuju trem kereta ke arah Soerabaja, tempat yang belum pernah Hardi bayangkan, Bagaimana dengan kehidupan di sana? Apa lebih baik dari kehidupan di Bojonegoro? Apakah disana Hardi bisa mewujudkan impiannya?
•••••
Catatan:
Poffertjes : Kue cubit atau panekuk mini yang diperkenalkan Belanda ketika menjajah bumi nusantara.
HBS : Hoogere Burgerschool atau sekolah menengah umum yang didirikan oleh Belanda tahun 1863.
•••••
Mohon maaf jika banyak typo bertebaran semoga masih bisa kalian ngerti, akan dilakukan revisi saat sudah tamat 🙏
Dan dimohon jika ada kekeliruan bisa langsung komen ya teman, aku akan sangat terbuka untuk saran serta kritik dari teman-teman aku ❤
Terima kasih sudah mau baca sampai akhir, semoga kalian suka🥰
Sebelum aku tutup, aku punya rekomendasi cerita. Aku yakin kalian pasti akan sukaaa...
Bagaimana cara perjuangan Djoerijah untuk mencapai impiamnya menjadi penyanyi tekenal? Temukan cerita di akun ka elsyjessy_
Dijamin ceritanya seru!!
Selalu dukung aku yaa 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Soerat Terakhir Raden Mas
Historische RomaneRaden Mas Hardiyata Adhikusumo adalah pemuda keturunan priyayi Jawa yang bertekad ingin mengusir penjajah dari tanah kelahirannya. Tapi, siapa sangka Hardi justru jatuh dalam perangkap cinta seorang Henzi Van Dekken, noni Belanda yang juga teman se...