Sesampainya di asrama, Hardi membersihkan dirinya. Dan malamnya ia akan lanjut membuat cerita bersambung untuk diajukan dan di muat di surat kabar.
Hardi sangat menginspirasi Sulastri, ia sangat sayang kepada anak dari manjikannya. Seharusnya ia bisa saja kabur tetapi Sulastri memilih tinggal di rumah untuk mengurus anakyqng bukan darah dagingnya. Menurut Hardi iru hal yang luar biasa, ia rela mengorbankan kesempatan untuk hidup lebih bebas, tetapi ia memilih tetap tinggal, ia tahu resikonya jika Sulastri tetap tinggal akan ada banyak permasalahan jika Willem Dekken kembali, mungkin ia akan diperlakukan seperti budak nafsunya.
"Kau sudah melanjutkan tulisanmu, Hardi?" tanya Wirya saat sampai di kamar Hardi dan duduk di atas kasur kelambu di temani lampu templok.
"Aku sedang menyelesaikannya," jawab Hardi, pandangannya masih nunduk ke arah kertas yang sedang ia tulis.
"Baiklah, aku akans abar menunggu," sahut Wirya, ia merebahkan badannya ke kasur Hardi.
Mereka seperti teman lama, layaknya saudara. Padahal pertemuannya baru minggu-minggu ini. Mungkin karena tujuan mereka sama, dan itulah yang membuat mereka semakin dekat.
"Kau tidak menulis, Wirya?" tanya Hardi di sela-sela menulis dan melihat Wirya yang asik tidur dikasurnya.
"Aku sudah membuat puisi, Hardi," ucapnya dengan kwyakinan yang tinggi. "Aku yakin pada pemerintahan Belanda itu takkan mencurigai bahasa yang aku gunakan."
Hardi tersenyum, ia senang melihat kegigihan Wirya untuk sedikit demi sedikit mencoba membuka mata para kaum pribumi agar mereka tahu bahwa kebebasan sangatlah nikmat. Ya, walaupun setelah merdeka mungkin tidak akan menghilakan beban yang sudah ditanggung puluhan tahun tetapi dengan begitu mereka tidak perlu kerja rodi dengan upah yang sangat minim.
"Aku yakin puisimu sangat bagus, Wirya." Hardi melanjutkan tulisannya kembali setelah mendengar jawaban Wirya.
Di tengah keheningan mereka, Hardi teringat sesuatu. "Bagaimana dengan perkembangan Sarekat Islam, Wirya?"
"Aku belum menerima surat dari saudaraku, Hardi. Tunggulah sebentar lagi. Pasti saudaraku akan membalasnya," ucap Wirya memberi pengertian kepada Hardi. "Tetapi aku dengar dari orang-orang pribumi sekitar sini, bahwa sekarang Sarekat Islam mulai tidak dipercaya oleh orang-orang pribumi."
Hardi berbalik mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Wirya. Bagaimana mungkin parta sebesar Sarekat Islam mulai luntur kepercayaan kepada para elite?
"Bagaimana bisa?"
Wirya mengangkat bahu sedikit. "Mungkin karena ada paham kanan dan paham kiri."
Hardi meresapi perkataan Wirya, tetapi ia yakin bahwa bangsa ini akan menuju kebebasan yang hakiki dengan atau tanpa bantuan Hardi. Tetapi Hardi sangat ingin berperan dalam mewujudkan kebebasan itu, ia sudah di takdirkan menjadi kaum bangsawan jawa dan Hardi harus memanfaatkan garis keturunannya. Karena sebagai orang priyayi mempunyai derajat serta kekuasaan lebih tinggi dibandingkan orang-orang pribumi dimata bangsa eropa.
"Jika kita masuk Sarekat Islam, pasti aku akan memilih menjadi anggota paham kanan, dan aku ingin sekali bertemu dengan Mas Tjokroaminoto, Hardi," seru Wirya, ia sangat antusias sekali jika berhubungan dengan menjalankan tujuan utama mereka.
"Aku juga," sahut Hardi. "Tetapi sebaiknya kita harus memperdalam pendidikan kita terlebih dahulu, Wirya. Agar semakin banyak pengetahuan yang kita dapat, semakin mudah kita berjuan mencari kemerdekaan."
Ucapan Hardi membuka pikiran Wirya, mungkin saat ini merak harus banyak belajar untuk menjadi yang lebih baik lagi. "Aku setuju denganmu, Hardi."
•••
Sudah sebulan semenjak Hardi ingin menerbitkan tulisannya, tetapi belum juga di terbitkan. Setelah melalui fase yang panjang akhirnya tulisan mereka di terbitkan di Soeara Poeblik, Soerabaja.
"Minggu ini tulisanku terbit, Wirya," seru Hardi sangat antusias.
"Iya-iya, kau sudah berbicara beberapa kali seperti itu, Hard," sungut Wirya, ia sudah lelah mendengar celotehan Hardi.
Tetapi Wirya senang setelah mencoba meyakinkan Pak Tjoa Jan Hie, selaku kepala administrasi surat kabar Soeara Poeblik yang mempunyai keturunan Tionghoa. Untuk menerbitkan cerita bersambung Hardi.
"Kau jadi pakai nama samaran?" tanya Wirya, tengah duduk di ruang tamu asrama mereka. Menikmati secangkir kopi serta kue poffertjes yang di beli dekat asrama mereka.
"Jadi, Yata Hidde. Itu nama samaranku." Wirya memiringkan kepalanya dengan mengerutkan alisnya yang tebal, seolah ia ingin meminta penjelasan dari Hardi.
"Yata adalah nama panjangku, Hardiyata. Sedangkan Hidde dalam bahasa belanda yang artinya berjuang," seru Hardi, ia menjelaskan dengan sangat detail sambil duduk serta mengambil kue diatas meja.
"Kenapa kau memakai bahasa belanda?" tanya Wirya, ia tidak mengerti mengapa Hardi tidak memakai namanya sendiri saat dia berbicara ingin memakai nama samaran di tulisan yang akan di terbitkan esok.
"Ya, pertama aku tidak ingin mencolok serta di curigai oleh pemerintahan belanda. Kedua, aku tidak ingin ketahuan oleh Bapak, karena aku sudah berjanji untuk sekolah tidak aneh-aneh," jelas Hardi.
"Dan kau sekarang melakukan yang aneh-aneh, Hardi?" ledek Wirya. Ia sedikit tertawa, karena mempunyai tujuan untuk kebersamaan dianggap melakukan hal aneh-aneh.
"Mungkin..." sahut Hardi santai. "Karena jika Bapak tahu aku buat tulisan, beliau pasti akan marah besar."
Wirya tersenyum, menepuk pundak Hardi, ia kagum dengan kegigihan Hardi untuk mewujudkan keinginan bangsa kami agar terbebas dari budak para bangsa eropa. "Benar juga kau."
"Kapan kau akan menerbitkan puisimu itu, Wirya?"
••••
Catatan:
Soeara Poeblik : Soeara Poeblik atau Swara Publiek adalah nama sebuah surat kabar berbahasa Indonesia yang pernah terbit di Surabaya, Indonesia.
••••
Mohon maaf jika banyak typo bertebaran semoga masih bisa kalian ngerti, akan dilakukan revisi saat sudah tamat 🙏
Dan dimohon jika ada kekeliruan bisa langsung komen ya teman, aku akan sangat terbuka untuk saran serta kritik dari teman-teman aku ❤
Terima kasih sudah mau baca sampai akhir, semoga kalian suka🥰
Selalu dukung aku ya 🖤🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Soerat Terakhir Raden Mas
Historische RomaneRaden Mas Hardiyata Adhikusumo adalah pemuda keturunan priyayi Jawa yang bertekad ingin mengusir penjajah dari tanah kelahirannya. Tapi, siapa sangka Hardi justru jatuh dalam perangkap cinta seorang Henzi Van Dekken, noni Belanda yang juga teman se...