▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Di warung sederhana yang letaknya sekitar 2KM dari sekolah, menjadi tempat para remaja berkumpul. Warung yang disebut sebagai 'Warung Babeh' karena pemiliknya seorang pria paruh baya yang super duper baik itu, sekarang sedang ramai karena suara Dipta yang berisik.
Padahal, Jiandra sudah berkali kali menegurnya untuk tutup mulut, tapi seakan tak ada takutnya.
Sesuai janji Jiandra, dia yang akan menraktir teman-temannya, dan juga teman barunya ini. Saling berbagi rokok agar bisa menikmatinya bersama.
"Sori, gue agak telat." Jauzan menyisir rambutnya ke belakang, dia adalah orang terakhir yang datang malam ini. Langsung mengambil tempat disebelah Hansa, karena hanya disana tempat yang tersisa.
"Santai, lo pesen, gih," titah Jiandra, menghisap rokoknya dengan santai.
"Oke. Beh, gue pesen mie goreng pake telor dua sama potongan cabe. Eh, sama kopi hitam juga!"
"Sip!" Babeh mengacungkan jempolnya.
"Dip, lo diem, kek! Kalau lo nyanyi terus, kasian Babeh bisa rugi!" Alden menepuk tengkuk Dipta yang sedari tadi memainkan gitar dan menyanyi tak jelas.
Jika suara Dipta bagus dan juga lagunya, mungkin mereka masih bisa terima. Tapi masalahnya, lagu yang di nyanyikan Dipta ini lagu jadul era 80-an alias TIDAK AKAN ADA YANG TAU LAGU INI!
"Ini lagu bagus banget, bapak gue dengerin tiap pagi! Adu sama suara orang yang renovasi rumah." Dipta menyeruput kopinya, sebelum lanjut memainkan gitar.
"Untung gue nggak jadi tetangga Dipta, kayaknya gue bakal jadi ahli subuh!" Ajun menggelengkan kepalanya, melihat bagaimana Dipta dengan fasih bernyanyi, padahal kuncinya acak acakan.
"Selera Dipta bapak-bapak, ngeri," sinis Dhafa.
"Lah, wajar, bang! Nanti gue bakal jadi seorang bapak, yang nggak wajar kalau seleranya emak-emak."
"Tapi nanti masa lo udah nikah, lo mau sama bapak bapak? 'Kan bini lo bakal jadi emak-emak juga," jawab Hansa, membuat Dipta berhenti memainkan gitar.
"Bener juga. Ah udahlah, lanjut galau!" Dipta melanjutkan memainkan gitarnya, seolah-olah dirinya adalah orang paling galau diseluruh dunia.
Padahal, pacar saja tidak punya.
"Nih, Zan." Babeh tiba dengan membawa pesanan Jauzan paket lengkap.
"Makasih, Beh." Jauzan sudah sumringah ditempatnya, menatap mie goreng kesukaannya dengan tatapan lapar.
"Lihat lo makan, udah kayak nggak makan beberapa hari aja," sinis Yoga, terkekeh melihat Jauzan makan dengan lahap.
Jauzan mendongak, dengan mie yang masih menggantung dibibirnya. Lalu, ia memasukkan satu suapan mie kedalam mulutnya, mengunyah sejenak sebelum dia menjawab.
"Lebih tepatnya nggak makan tiga jam, sih. Ngurusin doinya Alden tuh, anjir. Gue jadi di anak tirikan." Jauzan mengomel dengan mulut yang masih mengunyah.
"Riona maksud lo? Ada dirumah lo?"
Semua orang langsung terdiam, lebih tepatnya menatap terkejut kearah Jiandra. Bahkan Dipta yang sejak tadi mengamen, ikut menghentikan kegiatannya. Sebuah keajaiban bagi mereka, seorang Jiandra yang setiap hari selalu bertengkar dengan Riona, kini bertanya pada Jauzan.
Iya, Jiandra yang bertanya.
"Kenapa lo semua? Emang salah gue tanya gitu?" Jiandra mengernyitkan dahinya, membalas tatapan mereka semua dengan sorot tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGLIMA JIANDRA • park jihoon
Fanfiction❝Kalau penegak keadilan tidak bisa membawamu ke neraka, maka kami yang akan membawa neraka untukmu.❞ Disaat dalam menentukan siapa yang akan menjadi teman hidup, harus ada campur tangan orang tua. Jiandra diberi cobaan lebih banyak, yakni memberikan...