▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Koridor rumah sakit kini terisi oleh 6 pemuda yang terlihat khawatir sambil merapalkan doa agar sahabat mereka yang sedang berjuang di balik pintu IGD bisa terselamatkan. Tak ada yang membuka suara, semua pertanyaan yang ingin mereka ajukan terkubur bersama.Bagaimana bisa, sahabatnya yang izin ingin membeli minuman karena haus, kini justru bersimbah darah. Jika mereka tau hal ini akan terjadi, mereka tidak akan membiarkan Alden pergi sendiri.
Jauzan menggigit jarinya, melampiaskan amarah dan khawatirnya. Dipta sudah seperti sebuah setrika, berjalan mondar mandir. Hansa sudah terduduk di lantai koridor rumah sakit, ia menutup wajahnya dengan tangan.
Pikirannya kalut harus memikirkan alasan yang akan ia berikan pada Umi dan Abi Alden. Apa yang harus ia katakan pada mereka, disaat Alden menggunakan namanya untuk izin keluar.
Kalau sampai orang tua Alden mengetahui jika mereka pergi bermain di arena balap, bisa habis Hansa. Yoga dan Ajun juga terdiam, mereka menyalahkan diri sendiri karena tidak ikut bersama Alden. Sedangkan Jiandra, dengan wajah yang belum terobati, dia bersandar pada tembok dibelakangnya dan memejamkan mata.
Pikirannya ikut kalut, menyalahkan diri sendiri karena mengajak empat adik kelasnya kedalam masalahnya.
"Gue udah bicara sama polisinya."
Mereka menoleh kearah Dhafa yang baru bergabung setelah sekian lama berbincang dengan pihak kepolisian untuk meminta penjelasan terkait kecelakaan Alden. Lelaki itu berdiri menatap teman-temannya, lalu menghela napas lelah.
"Gimana, Dhaf?" Yoga menegakkan badannya.
Dhafa melipat tangan didepan dada. "Jadi menurut supir truk, Alden tiba-tiba ada didepan mobilnya dan supirnya nggak sempet injak rem. Jadinya Alden kepental beberapa meter."
Dipta mengernyit. "Kok bisa Alden tiba-tiba ada didepan truk?"
"Dugaan sementara, Alden keluar jalur karena kehilangan kendali. Motornya hancur, jadi perlu waktu buat di selidiki."
"Ada barang yang tertinggal, nggak?" tanya Jiandra.
Dhafa mengangguk, ia mengeluarkan dompet dan ponsel milik Alden yang rusak setengahnya.
"Cuma ini, karena hapenya rusak setengah, kepolisian nggak bisa hubungi keluarga Alden."
Dhafa menatap ponsel yang layarnya retak itu, bahkan LCD dari ponselnya sudah rusak. Namun masih bisa di gunakan, meski dengan tekanan yang kuat karena touch screen nya juga sudah rusak. Ia juga memegang sebuah dompet yang masih terdapat bercak darah pemiliknya.
"Amankan hape dia," titah Jiandra, diangguki oleh Dhafa.
"Biar gue hubungi Umi dan Abinya Alden." Dengan tak bersemangat, Hansa merogoh ponselnya dari saku jaket dan menekan kontak milik Abinya Alden.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGLIMA JIANDRA • park jihoon
Fanfiction❝Kalau penegak keadilan tidak bisa membawamu ke neraka, maka kami yang akan membawa neraka untukmu.❞ Disaat dalam menentukan siapa yang akan menjadi teman hidup, harus ada campur tangan orang tua. Jiandra diberi cobaan lebih banyak, yakni memberikan...