Bab 2: Good to be Back!

11K 940 38
                                    

Orleanna menjejakan kakinya kembali di Jakarta setelah tiga setengah tahun di Jerman untuk bekerja seraya menimba ilmu dalam program pasca sarjana. Perempuan itu tengah berjalan sambil menarik koper besarnya. Kacamata hitam menutup matanya yang masih setengah mengantuk. Walaupun begitu, ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri.

Mata itu membelalak ketika melihat seorang lelaki dengan rambut kecokelatan tengah berdiri sambil melipat tangan. Tinggi lelaki itu hampir 180 sentimenter. Tubuhnya besar dan tegap dengan pundak yang lebar.

"Lama bener sih!" gerutu lelaki itu saat Orleanna telah mendekat. "Gue ngantuk nih!"

Orleanna berdecak kecil. "Sorry, bagasinya lama." Ia menjawab dengan wajah yang begitu sebal. Menunggui bagasi yang banyak itu membuat kepalanya pening.

Lelaki itu menarik koper Orleanna begitu saja walaupun wajahnya menggerutu. "Enak sekolah lagi? Sekarang rate lo berapa ribu euro?" tanyanya dengan nada menyindir.

Bola mata Orleanna berputar pertanda kesal. "Yang jelas, lo nggak mampu bayar gue, Oxion."

Oxion—si kakak—tertawa. "Tapi, Papa bisa. Makanya lo akhirnya memilih buat masuk ke perusahaan Papa, kan?"

Orleanna mengangkat bahu tak ingin menjawab sang kakak. Setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan lain, kini, si bungsu Kartawidjaja tersebut memutuskan untuk bekerja di perusahaan ayahnya.

Tak ada alasan spesifik. Hanya, ia tahu bahwa cepat atau lambat, perusahaan itu akan jatuh ke tangannya juga. Dan rasanya, ia harus mempelajari perusahaan milik ayahnya itu sekarang.

"Tadi Orion titip salam. Rius sakit, jadinya dia sama Freya harus stand by di rumah," ucap Oxion seraya membuka pintu bagasi dan mengangkat koper Orleanna.

Orion adalah kakak sulung mereka. Lelaki itu baru menikah dua tahun lalu dan baru punya seorang anak laki-laki yang usianya belum sampai setahun. Sampai hari ini, Orleanna bahkan belum pernah bertemu dengan keponakannya itu.

Mobil melaju menembus jalanan Jakarta yang sedikit lenggang akibat akhir pekan. Tak lama, keduanya sudah sampai di depan rumah besar yang terlalu lama Orleanna rindukan.

Kaki Orleanna turun begitu mobil Oxion terparkir rapi di pekarangan rumah. Tak butuh waktu lama, seorang pelayan datang tergopoh-gopoh sambil membawakan koper besar milik gadis itu dari bagasi.

Dengan bersisian, dua kakak beradik itu berjalan ke dalam rumah. Tepat ketika kaki Orleanna menyentuh ruang makan, matanya terpaku pada seorang lelaki bertubuh kurus dan tinggi yang duduk bersama orangtuanya, juga orangtua Oxion dan Orleanna.

Kaisar. Orleanna membeku sesaat. Apalagi ketika mata mereka saling berpandangan. Gadis ini lupa kapan terakhir mereka saling melihat seperti itu.

Ada yang salah di dada Orleanna. Rasa berat menggelayut tiba-tiba. Padahal, sudah empat tahun yang lalu hal menyakitkan itu terjadi. Orleanna pikir, kabur tanpa bertemu dengan wajah dengan tulang pipi yang menonjol tinggi itu bisa menjadi obat yang menyembuhkan luka, juga menghilangkan segala rasa yang ada di dada.

Nyatanya, perasaan itu hadir lagi kali ini. Seperti perasaan rindu. Rindu yang amat dalam hingga Orleanna ingin menangis. Rasanya, Orleanna ingin berlari kencang memeluk sosok itu. Tetapi, ia tak bisa. Ia tak boleh.

"Wah, Lean sudah pulang, rupanya." Suara berat dari Padma—ayah dari Kaisar—membuat Orleanna mau tak mau mengangguk sopan.

"Ma-malam, Om, Tante." Orleanna berhenti sebentar. "Kaisar."

Alina—Ibu dari Kaisar—tersenyum manis. "Kamu kok panggil Bunda pake Om-Tante, sih? Pindah ke Jerman bikin kamu lupa, ya?"

Orleanna hanya bisa menelan ludah sambil melirik ke arah Kaisar. Selama ini, ia memang memanggil Alina dengan sebutan Bunda dan Padma dengan sebutan Ayah—sama seperti cara Kaisar memanggil kedua orangtuanya. Bahkan, sebutan itu sudah lama dipakai jauh sebelum Orleanna jadi kekasih Kaisar.

REKINDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang