Bab 1: Putus

13K 1K 38
                                    

"Ical," panggil Orleanna lirih.

Kafe begitu tenang hari itu. Suasana yang sangat mendukung untuk belajar dan bekerja.

"Hum?" Kaisar yang masih berkutat pada buku tebal kedokterannya menggumam pelan.

Ia tak begitu memerhatikan gadis yang sedari tadi duduk di depannya. Kepala lelaki itu ingin pecah karena punya banyak pekerjaan dan tugas sebagai residen spesialis bedah saraf tahun kedua.

"Ical," panggil Orleanna lagi untuk kedua kalinya.

Kaisar menarik napas. Ia tahu, Orleanna tak akan pernah mau berbicara sebelum mendapatkan atensi penuh dari lawan bicaranya.

Kaisar mendongak. Ia meletakan tangan di atas halaman yang sedang dibuka sambil menatap mata pacarnya dengan sedikit kesal. "Apa?"

"Aku mau ngomong," kata Orleanna pelan.

"Ya, ngomong aja! Kenapa sih?" Kaisar mendecakan lidah.

"Y-ya, itu—"

"Kamu tau kan, aku lagi belajar?! Bentar lagi ujian, Lean. Kamu udah janji mau diem-diem di sini. Sekarang kenapa gangguin aku?"

Untuk pertama kalinya, Orleanna melihat Kaisar emosi, Untuk pertama kalinya juga, Kaisar menaikan nadanya dengan kalimat yang panjang. Seumur hidup Orleanna, Kaisar tak pernah berlaku kasar, kenapa tiba-tiba lelaki itu jadi emosian seperti ini?

Orleanna mengulum bibir. Ia terlihat gugup.

"Jadi, apa? Cepetan!"

Orleanna semakin panik. Ia nyaris menangis. Gadis itu membuang pandangan. Kaisar memang semakin lama semakin sibuk. Awalnya, mereka terpisah setelah beberapa bulan berpacaran karena Kaisar harus pulang ke Indonesia. Sementara, Orleanna meneruskan pendidikannya di Singapura lalu berkuliah di Amerika Serikat. Saat itu, mereka masih menganggap hal itu sebagai masalah kecil. Teknologi sudah semakin canggih, mereka bisa berkomunikasi kapanpun. Jarak bukan penghalang.

Seiring berjalan waktu, Kaisar mulai disibukan dengan kegiatannya sebagai mahasiswa kedokteran. Lagi-lagi Orleanna menganggap hal itu adalah hal yang biasa. Hingga rasa-rasanya, mereka benar-benar tak berkomunikasi satu sama lain bahkan selama satu minggu, mereka cuma mengucapkan selamat pagi dan selamat malam.

Orleanna yang mendapatkan pekerjaan di Amerika Serikat mulai mencoba mengakali dengan datang ke Jakarta setiap enam bulan sekali. Bahkan, ia sudah memutuskan untuk melepas karirnya dan pindah kerja ke Indonesia agar dapat terus bersama Kaisar.

Sayangnya, Kaisar tak seperti dulu. Sudah tiga bulan berlalu sejak kepindahan Orleanna ke Indonesia. Namun, mereka bahkan belum pernah berkencan karena Kaisar selalu sibuk belajar dan tak ada waktu sama sekali.

Orleanna tahu jelas, saat ini, prioritas lelaki itu adalah cita-citanya, bukan lagi pacaran. Dan akan sangat jahat kalau dirinya memaksa Kaisar untuk memprioritaskan hubungan mereka.

Kaisar punya masa depan dan cita-cita. Kaisar selalu mengalah sejak dulu. Membiarkan Orleanna dan segala keinginannya. Orleanna yang ingin sekolah di Amerika. Orleanna yang ingin bekerja di negara Paman Sam itu alih-alih bekerja di Indonesia. Hubungan jarak jauh yang mereka lakukan selama hampir seluruh waktu dalam hidup mereka juga diakibatkan oleh keegoisan Orleanna dan Kaisar tak pernah menuntut.

Tetapi sayangnya, masalah mereka kali ini tak hanya tentang jarak. Tumbuh terpisah terlalu lama membuat semua terasa asing. Apalagi, walaupun Kaisar lebih tua, mereka berada di fase yang berbeda. Perbedaan fase dan musim kehidupan membuat semuanya semakin parah. ketika Orleanna sudah bisa independen dengan gaji dua digit dan bahkan sebenarnya bisa hidup sendiri tanpa bantuan orangtuanya, Kaisar masih punya tiga tahun lagi untuk benar-benar lulus. Ia masih harus mengikuti serangkaian ujian.

Ditambah lagi, terbiasa berhubungan jarak jauh membuat mereka jadi canggung satu sama lain. Sudah nyaman dengan diri sendiri membuat keduanya aneh ketika bertemu. Bahkan rasanya, kehadiran pasangan tak lagi membuat senang.

Semua perbedaan itu seperti membuat hubungan mereka makin memburuk. Seolah-olah, cinta sudah pudar di antara mereka. Atau mungkin, selama ini mereka sudah bertumbuh menjadi orang yang berbeda.

Kaisar dan Orleanna bak orang asing yang tak saling mengenal. Ketertarikan itu terasa pudar. Seolah-olah, Orleanna bukan lagi tipe Kaisar dan Kaisar bukan lagi tipe Orleanna.

"Apa, Lean?" Kaisar terlihat makin naik pitam.

Orleanna memain-mainkan jari jemarinya. Tangannya dingin. "Kita putus aja, ya?"

Orleanna menunduk. Ia sudah siap jika Kaisar membelalak lalu berkata dengan nada tinggi. Atau mungkin, jika Kaisar tiba-tiba langsung memohon-mohon untuk gadis itu membatalkan keputusannya.

Tetapi, tidak. Kaisar diam. Ia diam cukup lama. Lelaki itu tampak menarik napas panjang-panjang. Wajah lelahnya terlihat jelas.

"Apa kamu merasa, kita udah nggak cocok lagi?" tanya Kaisar. Tidak lembut, tidak tinggi. Nada itu aneh. Terdengar tegas dan lugas.

Orleanna membuang pandangannya. "Aku hanya merasa, kamu dan aku sudah berbeda." Ia berkata jujur.

"Berbeda, maksudmu?"

Orleanna mendesah pelan. "Kamu punya duniamu sendiri. Dulu, kita memang terpisah dengan jarak. Tetapi sekarang, bahkan ketika aku berada di dekatmu sekalipun, kamu seolah-olah jauh."

Kaisar mengangguk. Ia menarik napas panjang sekali. Responnya hening dan Orleanna jadi gugup setengah mati.

"Aku rasa, aku juga berpikir demikian," kata Kaisar pelan.

Pelan, namun Orleanna langsung merasakan sesak pada dadanya. Walaupun memang gadis itu yang menginginkan perpisahan, tetapi, rasanya tetap menyakitkan.

Ia menunduk. Berusaha menutupi air mata yang tak bisa ditahan untuk jatuh begitu saja. Hatinya tetap sakit. Rasanya seperti ingin mati.

"Aku sempat berpikir, sepertinya aku terlalu egois." Kaisar berkata lagi. "Kamu lihat dirimu, Lean. Kamu cantik, pintar, berbakat. Kamu bisa hidup dengan kakimu sendiri, bahkan tanpa bekerja di perusahaan papamu, kamu bisa mendapatkan gaji beribu dollar."

Orleanna menggeleng. Pujian yang dilayangkan Kaisar malah membuat hatinya makin sakit.

"Aku cuma residen biasa, yang uang sekolahnya masih dibayari orangtua, yang makan dan hidup masih menumpang. Aku belum punya penghasilan, masih ada beberapa tahun untukku jadi sukses." Kaisar tersenyum tipis. "Aku cuma akan jadi bebanmu, Lean."

Orleanna tercekat. Ia tak menyangka, Kaisar juga memikirkan hal yang sama.

"Kamu pasti berpikir hal yang sama, bukan?" Kaisar tersenyum simpul. "Mungkin, memang pikiran kita masih berhubungan."

Kalimat itu biasanya menjadi canda. Tetapi, rasanya jadi seperti sayatan silet di hati Orleanna.

"Ayo kita putus, Orleanna Kartawidjaja." Kaisar berkata dengan nada berat. Ia mencoba menyembunyikan sedihnya. Ada rasa kehilangan yang amat besar di dalam hatinya. Seperti lubang tak kasat mata dan angin berhembus melewati dada.

Orleanna mengulum bibir. Dengan air mata yang masih mengalir. Ia mengangguk pelan. "Mari kita berpisah, Kaisar Winarta."

Kaisar. Untuk sekian lama, Orleanna akhirnya menyebutkan nama Kaisar yang sebenarnya. Bukan lagi 'Ical' seperti biasa.

"Kita tetap teman, kan?" tanya Kaisar lagi.

Orleanna mengangguk kecil. "Kita tetap akan jadi teman."

Kaisar menghembuskan napas. Ia menatap Orleanna lekat-lekat. "Kamu mau aku antar ke rumah? Atau—"

"—Boleh aku menemanimu belajar di sini?" tanya Orleanna. "Aku janji tak akan mengganggu."

Kaisar mengangguk. "Tentu," ucapnya.

Keduanya menarik napas panjang. Lalu mereka terdiam satu sama lain. Tak ada yang berbicara setelahnya. Mereka saling larut dalam pikiran masing-masing. Saling berpikir, apa yang harus mereka lakukan setelahnya.

REKINDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang