Bab 9: Pacar Pertama

7.6K 691 28
                                    

Kaisar sesekali mengintip ke arah Orleanna yang tampak kikuk dan cemburu. Demi apapun, ia menikmati wajah kesal Orleanna. Selama ini, hubungan mereka terlalu lurus. Tak pernah bertengkar, tak pernah cemburu, tak pernah ada marah atau emosi. Mungkin—lagi-lagi—karena sudah terlalu lelah dengan jarak yang menghadang, mereka benar-benar tidak ingin memancing keributan.

Hubungan datar itu yang membuat semuanya jadi membosankan. Walaupun seharusnya, Kaisar bersyukur untuk hubungan harmonis yang dimilikinya bersama Orleanna dua tahun lalu, ia sadar bahwa hubungan itu tak bertumbuh sama sekali. Diam di tempat dan siap mati busuk kapanpun.

Mungkin, mereka tidak cocok. Kurang lebih, itu yang berada dalam pikiran Kaisar hari itu.

Berusaha mencari yang lain, mencoba jalan dengan gadis-gadis lain, Kaisar sadar bahwa dirinya masih terus terbayang Orleanna.

Bertemu dengan Orleanna lagi kemarin, menyelamatkan gadis itu dari lelaki yang tak dikenal di kelab, terbakar rasa cemburu dan kesal akan kedekatan Orleanna dengan lelaki lain sedikit banyak menyadarkan Kaisar. Perasaan itu masih ada.

Ya, perasaan itu masih ada di sana. Hanya saja, perasaan itu sudah terlalu lama terpendam. Mereka butuh alat untuk menariknya keluar, memberikan gairah dan gejolak yang sudah lama hilang.

Mungkin itu semua salahnya. Salah Kaisar yang tak pernah mendekati Orleanna dengan benar. Hubungan mereka belum apa-apa ketika perjanjian pertunangan itu dilakukan. Mereka bahkan belum pernah bertengkar ketika Kaisar harus pergi ke Indonesia tak lama setelah mereka resmi jadi sepasang kekasih.

Tak ada proses seperti orang-orang lain. Tak ada pertengkaran yang membuat mereka lebih kuat. Rasa rindu yang awalnya ada di bulan-bulan pertama lambat laun menghilang, menyisakan kebiasaan untuk mengobrol via panggilan video karena sebuah rutinitas.

Kaisar rasa, setelah berbulan-bulan merefleksikan diri, ia rasa, itu adalah hal yang harus diperbaiki dari hubungannya dengan Orleanna. Dan, ia harus melakukannya sendiri.

Ia tak bisa melibatkan atau berbagi ide itu dengan Orleanna. Ia ingin semuanya natural sekarang. Ia ingin merasakan jatuh cinta perlahan, merasakan emosi dan prosesnya. Bukan lagi sesuatu yang difabrikasi hanya agar mereka kembali bersama.

Bohong kalau Kaisar tak sadar bahwa Orleanna masih mencintainya. Sama dengan Orleanna yang ia yakin tahu dan sadar—walau berpura-pura bodoh—bahwa Kaisar juga masih punya perasaan yang sama.

Menyalakan sedikit api dengan berkata bahwa dirinya punya pacar merupakan ide yang cukup beresiko. Kaisar tahu itu. Tetapi, ia tak punya pilihan lain.

Ia bahkan ingat kejadian semalam. Karena tak hanya Orleanna, Orion juga sedikit kaget mendengar kabar bohong terkait hubungan romansanya.

"Oke, jelasin, sejak kapan lo punya pacar baru?" Orion langsung melempar pertanyaan begitu Kaisar sampai di kafe malam itu.

Kian dan Aksa sama-sama saling pandang heran. Ini sudah perempuan ke berapa? Mungkin, itu yang berada dalam kepala mereka.

"Siapa?" tanya Kaisar pura-pura bodoh.

"Tiffany!"

Kaisar terkekeh kecil mendengar pertanyaan Orion yang nadanya naik dua oktaf itu. Bagaimana tidak? Ia yakin, Orion mendengarnya dari Orleanna. Kaisar berani bersumpah, Orion sedang dalam mode kakak protektif yang—tentu—tak diakuinya.

"Kalo gue pacaran sama Tiffany, terus kenapa?" tantang Kaisar balik. Ia membanting tubuhnya untuk duduk di sebuah kursi empuk. Tangannya memanggil seorang pelayan.

"Dia jemput lo ke kantor? Emangnya ada apaan?" Orion masih bertanya lagi.

Kaisar tak menjawab. Ia tengah berbicara dengan pelayan untuk memesan secangkir kopi.

Kehadiran Tiffany hari itu adalah untuk ditemani mencari buku referensi terkait skripsinya mengingat mereka diampu oleh dosen pembimbing yang sama dengan topik yang mirip. Ah, bukan mirip, bahkan lebih tepatnya TIffany ditugaskan mengembangkan penelitian Kaisar. Jadi, mau tak mau, mereka akan banyak berinteraksi.

Lucu juga mendengar Orleanna cemburu. Walaupun tak melihat langsung, membaca mimik Orion saja sudah cukup jelas. Kegusaran Orion tak lebih dari refleksi kegusaran Orleanna. Semua sudah jelas.

Wajah Orion yang tampak kesal masih terbayang jelas dan wajah itu sama persis dengan wajah Orleanna saat ini. Bedanya, Kaisar ingin sekali mencubit pipi Orleanna ketika sedang kesal. Kalau Orion jelas tidak!

"Jadi, nggak mau jadi pacar kedua gue?" tanya Kaisar masih bertanya.

Orleanna membelalakan mata. "Nggak!" Ia memandang Kaisar dengan aneh. Seingatnya, Kaisar yang dulu bahkan tidak berani untuk menyatakan perasaannya. Kenapa laki-laki ini berubah jadi sangat gamblang seperti sekarang?

"Pacar pertama?" tanya Kaisar lagi.

Orleanna membeku. Ia menatap Kaisar dengan kaget. Kaisar benar-benar sudah berubah. "H-hah?"

"Iya, pacar pertama, mau?" Kaisar mengulang penawarannya. Ia mengerling, menatap Orleanna dengan senyum jahil.

"Terus kalo ada yang pertama, ada yang kedua?" balas Orleanna tajam.

"Bisa jadi." Kaisar mengangkat bahu sambil menjawab asal yang langsung ditatap kesal oleh Orleanna.

Gadis itu tak menjawab. Bohong kalau jantungnya tak berdebar setengah mati. Tetapi, yang benar saja! Apa-apaan Kaisar itu? Lagipula, laki-laki ini kerasukan arwah apa sih?

"Nggak!" tolak Orleanna cepat.

Kaisar masih tertawa-tawa. Ia menikmati penolakan malu-malu Orleanna. Lelaki itu kemudian melirik kotak bubur yang tinggal sedikit.

"Lo ada urusan lagi, ya?" tanya Orleanna menangkap gelisah Kaisar.

Orleanna memutar bola mata. "Ke mana sih? Jalan sama cewek lo ya?"

"Iya! Sama cewek pertama gue." Kaisar mengangguk pelan. "Cepetan makannya."

"Pulang duluan aja, gue bisa makan sendiri." Orleanna terlihat tak enak hati.

Kaisar menggeleng. "Gue ada urusan sih, tapi harus nungguin lo selesai makan." Ia berkata dengan nada sedikit ketus. "Apa lo sengaja biar makin lama ya? Biar bisa ngabisin waktu sama gue seharian?"

Orleanna terlamun. Oke, Kaisar benar-benar sudah jadi sinting!

"Kenapa? Karena disuruh Bunda? Gue nggak apa-apa kalo lo pulang, beneran." Orleanna sedikit ragu mengucapkan itu. Memang, ada rasa tak rela menyatakan itu, tetapi, ia benar-benar tidak mengulur waktu kok.

Lagipula, punya hak apa Orleanna untuk menahan Kaisar?

Kaisar berdecak. "Gue tetep harus nungguin lo, Orleanna Kartawidjaja."

Orleanna memiringkan kepala. "Terserah lo!"

Kaisar menyunggingkan senyum. Ia menatap Orleanna yang memajukan bibir. "Cepetan ih!" Kaisar berkata dengan nada tidak sabar yang dibuat-buat.

Lidah Orleanna berdecak pelan. "Ya, ya, ya, ya udah, jalan aja! Kenapa sih! Ribet amat!"

"Ya, nggak bisa!" Kaisar berkata cepat. "Kan gue mau jalannya sama pacar pertama gue."

"Ya udah, kenapa harus nungguin gue?"

"Karena pacar pertama gue tuh lo, Orleanna!"

"Orang sinting!" bentak Orleanna yang langsung dapat respon tawa oleh Kaisar.

REKINDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang