Bab 17: The Dearest One

4.9K 456 26
                                    

Warren melirik ke arah Orleanna yang tampak canggung. Gadis yang--kata Oxion—seumur dengannya itu terlihat gelisah sedari tadi. Ia seperti ketakutan akan sesuatu. Tetapi, ia tak mengerti mengapa perempuan itu bertingkah begitu aneh.

"Ada masalah?" tanya Warren menegur dengan lembut.

Orleanna menengok lalu buru-buru menggeleng. "Ng... Nggak," sanggahnya.

"Oh, lo terlihat gelisah." Warren berkomentar sambil tetap menatap lurus ke depan.

Orleanna mendesah pelan. Ia menggaruk lengannya yang tak gatal. "Mungkin, karena ini pertama kalinya gue jalan sama cowok lain selain Kaisar."

Warren menaikan alis. Ia menengok sebentar ke arah Orleanna dengan kaget. "Uhum? Mantan lo yang kemarin itu?"

Orleanna mengangguk kecil. Ia menghela napas panjang sekali. Gadis itu menunduk.

"Memangnya, kalian pacaran berapa lama?" tanya Warren santai.

"Delapan tahun."

"Delapan?"

Santai Warren berubah menjadi keterkejutan. Lelaki itu bahkan harus menengok untuk memastikan pendengarannya baik-baik saja. Tetapi, anggukan Orleanna mengkonfirmasi semuanya.

"Kita pacaran dari gue masih secondary year 3, dia year 4."

Warren mengangguk pelan. "Kurang lebih, 15-16 tahun?" tanyanya mengonfirmasi. "Di Indonesia berarti setara SMP kelas tiga dan SMA kelas satu?"

Orleanna mengangguk. "Tapi setahun kemudian, pas kenaikan kelas, dia pindah ke Indonesia--karena rumah sakit ini--dan mau nggak mau ngulang kelas."

"Then?" Warren menaikan alis. Ia hanya bertanya terkait sejak kapan Orleanna berpacaran sehingga, agak bingung mendengar gadis itu malah membicarakan terkait Kaisar yang pindah dan mengulang kelas. Sepertinya, ia ingin bercerita.

"Well, gue pacaran nyaris seumur hidup dengan kondisi hubungan jarak jauh. So, I'm kinda trying to be a good girl."

"By good girl, you mean, setia, menutup diri buat pacaran atau kenal cowok lain, dan mencoba terus menjaga alur komunikasi satu sama lain?" tebak Warren.

Orleanna lagi-lagi mengangguk.

Untuk kali ini, Warren tak terkejut. Ia hanya tersenyum lembut. "Lalu, kalian putus karena jarak jauh?"

Orleanna menggeleng. "Justru, kita putus pas gue udah di Jakarta. Pas ketemu lagi, rasanya aneh dan canggung. Ternyata, dia nggak kayak dia yang dulu, begitu."

Warren memiringkan kepala. Ia menatap langit kebiruan sambil menarik napas. "Ya, itu sih susahnya jarak jauh. Bukan cuma masalah komunikasi." Ia mendesah pelan. "Kalau baru di Jakarta, berarti, baru-baru ini, eh? Soalnya--bukannya apa--gue denger dari Oxion, lo baru balik ke Jakarta juga kemarin."

"Ah, bukan, putus udah empat tahun lalu. Karena putus, gue pikir, mungkin lebih baik gue hengkang dari Jakarta. Cari kesibukan lain, kuliah S2, kerja di Jerman, gitu-gitu." Orleanna buru-buru meluruskan. "Soalnya, dia malah jalan sama cewek lain!"

Warren mengangguk kecil. Ia menatap wajah Orleanna yang terlihat kembali sendu. "Hari ini, sebenarnya, kita nggak perlu ke kantor, kan?"

Pertanyaan itu membuat Orleanna mendelik. Ia menatap ke arah Warren dengan kaget. "Y-ya, memangnya kenapa?"

"Mau jalan?" tanya Warren. "Maksudnya, kita bisa kerja di coffee shop. Lo bisa sembari nyantai, bisa rileks. Lagian, kemarin setelah gue baca datanya, semua udah oke, kok!"

Orleanna mendesah pelan. Ia tak tahu harus menjawab apa.

"Hari ini, biasain diri lo jalan sama cowok lain lagi, Lean." Warren tertawa sambil membelokan mobilnya ke arah lain.

REKINDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang