6. Menjenguk Papa

232 64 17
                                    

Yuhuu, Abas dan Hana kembali datang. Semoga kalian terhibur😍 Vomentnya jangan lupa ya

💕💕💕

Hana ingin meronta dari cengkeraman Abas. Tapi, gerakannya terhenti karena Mama Silvi keluar dari kamar.

"Sudah datang?" Mama Silvi tersenyum, sambil membawa plastik yang berisi sampah.

Hana tersenyum dan menyalami mama tirinya. Senyum terbingkai di wajahnya, walau sebenarnya dia tidak sedekat itu.

"Papa sudah nungguin tuh. Dia ketakutan waktu dokter bilang jantungnya harus dipasang ring." Mama Silvi merangkul Hana setelah membuang sampah lalu membimbingnya masuk. Meski canggung, Hana mengikuti saja arahan Mama Silvi dan membiarkan Abas mengekor mereka.

Ruangan besar dengan wewangian lembut yang memudarkan aroma obat-obatan pekat menyambut Hana. Lelaki tua dengan uban yang mencuat dari rambut bersemir itu mengurai senyum di wajah pucatnya, ketika melihat Hana masuk.

"Papa …." Hana mencium pipi papanya. 

"Papa ini tidak papa. Kenapa dokter bilang suruh pasang ring segala?" Papa mulai mengeluh begitu Hana duduk di sampingnya. Beberapa saat tidak bertemu, kerut di wajah Papa semakin banyak. Padahal dulu, wajah itu tampak kencang. Tangan berkeriput yang dulu selalu menerbangkannya ke udara dan menangkapnya itu kini terbelenggu selang infus.

"Ya, biar Papa sehat." Hana menunduk, meremas jemari berkuku pucat Papa. 

"Papa sehat kok. Dokter itu ada-ada aja." Makin tua, tingkah laku Papa seperti anak-anak. Terlebih saat kontrol rutin, Papa selalu menggerutu. Seperti sekarang. "Lagian, Papa tidak akan mau mati kalau belum lihat cucu Papa."

Seketika tangan Hana bergetar. Gerakan tangannya mengusap kulit kuning yang kisut itu terhenti. 

"Udah kabar baik belum?"

***

Abas seketika menatap Hana yang duduk di samping Papa. Anak rambut yang menjuntai menutup ekspresi wajah menunduk itu. 

"Belum, Pa. Sabar, ya." Abas cepat-cepat menjawab.

Papa mengembuskan napas kasar. "Kalian sepertinya perlu refreshing. Second honeymoon mungkin. Kelelahan bekerja juga tidak baik untuk kesuburanmu, Bas."

Abas meringis. Dia merasa sepertj pejantan yang harus membuahi putri Sultan. Setiap dia melakukannya, dia selalu terngiang kata Papa. Doa dulu, Bas. Jangan banyak gaya.

Jangankan banyak gaya. Satu gaya juga tidak berhasil membuahi Hana, setelah Hana keguguran pada bulan keempat kehamilannya, enam bulan lalu. Parahnya, Abas terlambat datang. Terlambat tahu karena gawainya … tertinggal saat dia keluar kota sendirian.

"Kerjaan Mas Abas banyak, Pa." Tentu saja Hana akan menolak saran Papa. Terlebih setelah ide gilanya untuk berpisah. 

"Tapi, aku bisa kok, Pa. Ide bagus itu." Abas melirik Hana yang matanya menyipit. 

"Nah, bagus itu! Kebetulan Papa dapat voucher menginap di Isekai resort daerah Kaliurang," kata Papa antusias.

"Pa—" Ekspresinya sekarang susah ditebak. Nada bicaranya yang tenang tidak bisa diprediksi apakah Hana marah, sedih, atau senang. Tapi Abas menebak, dia akan mengelak.

"Yang, Papa pengin banget punya cucu loh. Sebaiknya kita berusaha. Iya, nggak?" Alis Abas naik turun. Ya, sebenarnya tidak ada gunanya menggoda Hana karena Hana hanya tersenyum. Tak merespon. Seolah Abas bicara dengan tembok.

"Iya, Han. Lagian kamu udah berusia 30 tahun. Sebaiknya cepet-cepet punya anak. Jangan kaya Mama. Nggak bisa kasih keturunan untuk Papa," timpal Papa.

"Iya, Ma," jawab Hana singkat. 

Lovemeter (Ketika Cinta Bisa Diukur)-completed-unpub sebagianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang