Pasien yang menumpuk membuat Hana melupakan sejenak misi aneh yang muncul tadi malam di gawainya. Dia lega karena pada akhirnya dia berhasil menyelesaikan pasien anak yang sebagian besar terserang ISPA.
Hana mengembuskan napas panjang. Dia mematahkan leher ke kanan dan kiri untuk menghalau penat. Sesekali dia menepuk pundaknya.
"Dokter sakit?” tanya Bu Nur.
“Rasanya pusing aja, Bu.” Hana memijat tengkuknya yang terasa berat.
“Nggak pa-pa saya tinggal?” Bu Nur tampak cemas.
Hana mengangguk sembari kembali menarik napas yang terasa berat.
Bu Nur akhirnya meninggalkan Hana yang masih duduk di belakang meja anamnesanya. Hana hanya memandang punggung asistennya dengan pandangan yang berkunang. Saat dia sedang membereskan barang-barang untuk segera pulang sebelum praktik sore, dia merasakan dadanya seperti diimpit sehingga kesusahan bernapas. Hana meringis sambil mencengkeram scrubnya. Dia kembali duduk dengan kasar, menyandarkan kepalanya di atas meja. Seingat Hana, dia tidak punya riwayat asma, tapi kini dia merasa seperti kehabisan udara sehingga badannya terasa lemas, dengan peluh dingin tipis di kening.
"Han, lu kenapa?" Suara Dirgantara yang masuk ke dalam bilik poli anak, membuat Hana mendongak. Seperti biasa, Dirga akan selalu datang ke poli anak untuk mengajaknya makan siang bila dia selesai lebih dulu melayani pasien dan tidak ada pasien cito.
Dirga buru-buru mendekati Hana, memastikan dia baik-baik saja.
"Han, lu kalau belum sehat—"
Hana mengangkat tangan memberi isyarat dia baik-baik saja, agar Dirga tak perlu khawatir. Dia tahu bagaimana paniknya Dirga sewaktu dia keguguran. Bahkan, ada beberapa pegawai baru yang mengira Dirga adalah suaminya.
Hana melirik sejenak relationmeter yang … penuh dengan warna pink? Apakah Dirga menyukainya? Namun, Hana berusaha menepis pikirannya.
"Han …." Dirga menengok ke kanan kiri. Di bilik periksa itu tinggal mereka. "Perawat lu?"
"Izin keluar dulu, mau jemput anaknya." Hana menarik tisu yang ada di atas meja.
"Han, mending lu bedrest deh. Lu kecapekan sejak—"
"Dirga, duduk sini." Hana membungkuk, meraih kursi yang biasa dipakai Bu Nur mendekat. Dia menepuk permukaannya, mempersilakan Dirga duduk.
"Ada apa?" Ekspresi Dirga terlihat cemas, melihat wajah pucat Hana.
"Dir, kamu … lihat sesuatu di dekatku?" Pertanyaan yang menurut Hana konyol akhirnya keluar juga. Dia ingin memastikan bahwa bukan hanya dia saja yang melihat meteran atau bayangan hati itu.
Dirga menoleh ke kanan kiri. Tapi yang dilihatnya tak ada yang aneh. "Lihat apa?"
"Lihat hati yang melayang di atas kepalaku?" Hana meringis. Kedua bola matanya bergulir ke atas dan telunjuk yang teracung.
Dirga mengernyit. "Hati? Hati apaan?"
Hana tersenyum miris. Dia sudah gila! Benar-benar gila karena percaya masuk dunia gim. Jelas nalarnya berontak karena tidak mungkin hal itu terjadi.
"Lu sakit, Han?" Kali ini Dirga menempelkan telapak tangannya ke dahi Hana. "Nggak demam. Tapi badan lu dingin, Han."
Otak Hana terasa kusut. Dia yakin sudah berhalusinasi karena terlalu lelah. Ya, hanya itu jawaban logis yang dia bisa temukan.
Hana mengusap dahi berpeluhnya. Dia merasakan telapaknya memang dingin. "I
Laper mungkin. Tahukan kalau aku hipoglikemik(1)?" Hana mencari alasan."Ya udah. Ayo makan."
Hana tidak menolak. Nalarnya masih berusaha berpikir logis dengan beralasan karena kadar gula darahnya turun. Dia pun langsung berdiri dan mengikuti Dirga. Mereka berjalan berdampingan sambil menceritakan hal-hal seputar kasus yang ditemui hari itu. Namun, tetap saja pembicaraan mereka tak bisa mengikis rasa tak nyaman di tubuh.
"Han, ntar gue jadwal SC tanggal 3. Kek biasa, lu tengokin babynya ya."
Hana mengangguk. Tanpa diberitahu pun Hana akan selalu dipanggil bila ada yang melahirkan untuk mengecek kesehatan neonatus.
"Kondisimu—"
Omongan Dirga terputus karena dering nyaring notifikasi panggilan khusus. Tanpa melihatpun Dirga dan Hana tahu siapa yang menelepon. Setelah meminta izin untuk mengangkat sejenak, Hana menggeser tanda hijau. Seketika muncul gambar orang abu-abu, karena Abas tidak pernah memasang foto profil.
"Ya, Mas," sapa Hana begitu gawainya menempel di daun telinga.
"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Abas.
Hana mengerutkan alis. "Baik. Kenapa?" Seingat Hana, panggilan Abas sewaktu jam kerja bisa dihitung dengan jari. Dia jarang menghubungi, kalaupun menghubungi pun juga mengabarkan atau menanyakan hal penting.
"Nggak pa-pa. Memang salah nanya kondisi istri?"
Entah kenapa wajah Hana terasa hangat. Spontan dia melipat bibir, menyembunyikan senyum. Dia sampai mengipas dengan tangannya, untuk mendinginkan pipi yang membara. Memang Abas jarang menanyai dirinya. Apa yang terjadi hari ini, bagaimana perasaannya.
Namun, tiba-tiba alis Hana mengernyit. Dia teringat bahwa dia berada di dunia gim. Bisa saja, Abas melakukannya karena mendapatkan misi. Tentu saja semua hanya permainan yang tak perlu dibawa serius. Hana lalu berdeham, mengatur suaranya seolah tak menggubris ucapan Abas. "Ada apa?"
"Kamu mau makan apa? Kita makan di luar yuk."
"Makan di luar?" Alis Hana semakin menukik. "Buat apa?"
"Kok buat apa? Ya, buat makan." Suara ketikan terdengar samar-samar. Hana menduga Abas pasti masih berkutat dengan pekerjaannya.
"Mas sibuk …."
"Iya. Tapi aku pengin sesekali makan siang sama kamu … Jadi, kita makan di mana?"
Hana masih tidak habis pikir. Saat dia akan membuka mulut, Abas sudah memotong.
"Jangan jawab terserah ya, Yang. Kamu tahu kan aku nggak pandai menebak."
Hana berdecak, lalu melirik Dirga yang juga sibuk dengan gawainya. "Ya udah, kita makan di Siang Mie?"
"Boleh. Tapi nggak usah ajak Dirga."
"Loh kok Mas—" Namun, belum sempat Hana selesai bicara, sambungan telepon sudah terputus.
💕Dee_ane💕
Yang punya ig, kuy mampir di ig dee_ane84. Jangan lupa jejak cintanya
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovemeter (Ketika Cinta Bisa Diukur)-completed-unpub sebagian
RomanceApa yang terjadi bila kamu terjebak di dunia gim? Hana dan Abas, pasutri yang akan bercerai terjebak di dalam dunia gim 'La Personne' buatan Abas. Nyawa mereka akan terancam bila lovemeter pasangan mereka turun. Namun, bagaimana cara mempertahankan...