Ketika cinta bisa diukur … ketika kadar cinta bisa dilihat … adakah ketulusan?
Hana tak percaya dia sekarang masih berkutat di dapur, di saat jarum pendek sudah mengarah di angka enam. Dentang jam bandul kuno di ruang tengah berlomba dengan desisan minyak panas di penggorengan. Aroma rempah dan asap pun menyatu dengan badan Hana yang belum mandi. Padahal, semalam dia sudah keramas. Padahal, biasanya … aroma parfum white musk yang lembut sudah melekat di tubuhnya. Pada pukul 06.00.
Hana pikir misi akan berganti. Nyatanya misi memasak masih saja muncul.
Kenapa harus memasak di saat kemampuan Hana di bawah standard? Beri saja Hana misi maraton lari, daripada mengolah makanan. Mana jenis masakannya sudah ditentukan pula! Dan hari ini Hana harus memasak nasi goreng dengan telur ceplok mata sapi.
"Yang, itu … bumbunya gosong." Dari jauh Abas mengingatkan. Dia masih saja duduk di dapur seperti orang tua yang menemani anak gadisnya bermain masak-masakan.
"Aduh! Gimana nih? Udah susah-susah ngulek pula!" Hana buru-buru menaruh nasi di dalam wajan agar tak semakin gosong.
Sementara itu, Abas yang tak sabar karena Hana begitu kaku memegang sutil langsung meraih alat itu. "Biar aku aja yang ngaduk. Daripada kita makan nasi gosong."
Hana tak menolak. Dia melirik Abas yang tampak cekatan mengaduk nasi. Bahkan tangan kirinya mengangkat wajah dan menggoyangkan maju mundur seperti seorang chef di restoran makanan china.
"Nasi goreng itu enaknya yang bau-bau smoky. Nasinya ini udah pas sih. Nggak lembek dan nggak terlalu keras." Abas memulai ceramahnya seperti seorang guru pada muridnya. Sambil mengecilkan api, pria itu mengambil saus tiram serta menaburi garam dan penyedap.
Hana terkesiap. Cara Abas menabur garam itu terlihat macho. Tangannya yang terangkat dengan lengan baju yang sedikit tersingsing, menguak otot yang tercetak apik dibungkus kulit kuning. Ah, bagaimana bisa Hana terpesona dengan tindakan kecil Abas. Suaminya benar-benar pintar menarikan sutil dan wajah di atas jilatan lidah api. Seandainya dari dulu Abas mau bangun pagi seperti ini, Hana rela belajar memasak untuk Abas. Atau mereka akan memasak bersama, memadukan bumbu cinta untuk menciptakan hidangan yang bisa memberi semangat di pagi hari.
"Ini cicipi." Abas menyodorkan sendok dengan nasi cokelat yang mengepulkan asap.
Tanpa pikir panjang, Hana menerima suapan Abas setelah meniupnya. "Enak! Bener-bener enak!" Bola mata Hana membeliak lebar.
"Sapa dulu yang masak? Sini kasih hadiah." Abas menunduk sembari mengerucutkan bibirnya.
Hana mengernyit. Dia mendorong wajah Abas sambil merutuk. "Ish, maunya!"
"Namanya juga usaha. Habis lovemetermu menipis." Abas meringis.
Decakan Hana lirih ketika dia berbalik menyembunyikan wajah kecewa. Lagi-lagi lovemeter yang kini menjadi perhatian Abas. Berarti … bisa jadi Abas berusaha membuat lovemeternya naik dengan tindakan-tindakan manis itu karena tidak ingin 'game over'?
"Sepertinya bakal susah naikin lovemeterku." Hana mendengkus panjanh lalu berbalik. Dia kemudian tersenyum miring.
"Kamu … pengin aku mati?" tanya Abas.
"Itu tergantung Mas," jawab Hana sinis.
Abas mengembuskan napas dengan kasar. Dia mengambil piring untuk meletakkan nasi goreng yang sudah matang. "Yang, kamu pernah mikir nggak kalau selama ini … kita bersama tapi kita nggak saling kenal. Makanya kita gunain kesempatan ini untuk memupuk cinta kita."
Ucapan Abas itu seketika membuat telinga Hana berdenging. Abas mengatakan tidak saling kenal, tapi bagaimana bisa mereka mengenal kalau mereka tidak ada waktu berkualitas bersama. Mereka intim secara fisik tapi tidak ada kedekatan jiwa.
Hana mendengkus. Dia jadi merasa selama ini bercinta dengan orang asing karena Abas menganggap tak mengenalnya. Sungguh, ucapan Abas menyakiti Hana! Daripada Hana semakin kesal dan berdampak pada lovemeternya, dia lalu berlalu dari dapur.
Setengah jam kemudian, Hana sudah keluar dengan doctor scrub warna hijau pastel. Dia hanya menguncir rambutnya seperti ekor kuda dan memakai sneaker merah muda yang kalem. Saat datang di ruang makan, Abas sudah mandi dan membalut tubuhnya dengan kemeja bergaris biru muda dengan celana kain biru navy. Sebuah pemandangan yang aneh karena dia mendapati Abas duduk mengitari meja makan pada pagi hari.
"Ayo, sarapan." Abas mengambil piring dan menyendokkan nasi. Dia lalu mengambil sebuah telor mata sapi sebelum menyodorkan ke depan Hana.
Hana menatap lurus laki-laki dengan rambut klimis belah samping. Dia masih menebak apa yang dimaui Abas. Walau dulu dia ingin sekali Abas menemaninya sarapan, tapi melihat dia di sini, Hana justru berpikir. Apakah dia menjalankan misi? Atau memang tulus melakukan semuanya?
"Ayo, maem." Kini Abas mengambil untuk dirinya sendiri. Dia melirik ke arah Hana yang masih menatapnya intens. Wanita di depannya sungguh sulit dimengerti. Walau terlihat baik-baik saja ternyata mereka seolah terhalang samudera luas.
"Kenapa, Mas bangun pagi tadi?" tanya Hana mulai menyendok nasi goreng buatan Abas yang rasanya enak. Dia baru menyadari ternyata Abas pandai memasak. Hana tertegun sejenak. Apakah benar mereka tidak saling kenal? Buktinya dia baru tahu Abas bisa memasak.
Abas tak langsung menjawab Hana. Dia mengambil sendok dan berdoa lebih dahulu. Sikap Abas itu semakin membuat Hana geregetan. Namun, di saat Hana memutuskan untuk tak lagi mengorek motif Abas, laki-laki itu bersuara.
"Kamu minta aku jawab apa?" tanya Abas sambil memotong telur ceploknya.
"Kok?" Kunyahan Hana terhenti.
"Tadi aku sudah jawab. Sepertinya udah jelas buat kamu yang cerdas." Abas mulai menyuapkan nasi ke dalam muutnya.
Tenggorokan Hana seketika menjadi kering. Dia meraih gelas dan meneguknya cepat agar makanan yang dikunyah bisa tergelontor.
"Yang, sepertinya … kamu suka mengada-ada akhir-akhir ini." Abas memggeleng. "Nggak hanya akhir ini tapi dari dulu kamu seolah meminta semua orang nurutin kamu. Masalah kecil jadi gede."
Remasan tangan Hana di pahanya semakin kencang. Bahkan dia merasakan kuku panjangnya menancap. "Ah, begitu rupanya."
"Selama ini aku diam. Bagiku nggak masalah kamu ngatur aku dengan baju apapun yang mahalnya bisa membuatku menggaji satu karyawan. Ya, kupikir … sekali-kali nggak pa-pa. Tapi, sepertinya kamu pengin mendandani aku dengan seluruh barang bermerek itu. Aku nggak butuh, Yang!"
"Jadi, selama ini Mas nggak suka?" Hana tersenyum miring. Matanya sudah memerah, tetapi sekuat tenaga dia tahan.
"Bukan begitu …."
"Bukan begitu gimana? Jelas-jelas Mas nggak suka. Dan Mas tenang aja, karena kita akan bener-bener berpisah. Setelah ini. Lagian … nggak ada cinta lagi bukan di antara kita?" Hati Hana tersayat. Sisi hatinya kecewa karena niat baiknya tak disambut Abas.
"Yang, aku cinta …."
"Cinta? Lihat saja lovemeter Mas Abas!" Walau dada Hana sudah bergemuruh, dia berusaha meredamnya. Dia tidak ingin histeris di depan Abas. Dia tidak ingin menangis di depan laki-laki itu.
Abas menengok ke arah lovemeternya. Dia menggeleng. "Ini … salah. Aku akan memperbaikinya."
Hana mengambil tisu dari atas meja. Dia mengelap pinggiran bibir berpoles lipstik merah muda. "Nggak usah pura-pura. Mungkin Mas memang menungguku game over."
💕Dee_ane💕
Sudah komen?
Sudah vote?
Jumpa besok lagi. Matur tengkyuAbas Nugraha bisa masak?😱
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovemeter (Ketika Cinta Bisa Diukur)-completed-unpub sebagian
RomanceApa yang terjadi bila kamu terjebak di dunia gim? Hana dan Abas, pasutri yang akan bercerai terjebak di dalam dunia gim 'La Personne' buatan Abas. Nyawa mereka akan terancam bila lovemeter pasangan mereka turun. Namun, bagaimana cara mempertahankan...